ANALISIS

Menguji Likuiditas Perbankan dari Hantaman Ekonomi Global

CNN Indonesia
Rabu, 16 Nov 2016 18:50 WIB
Dua bulan menjelang akhir tahun 2016, sejumlah bankir besar mulai mengeluhkan keadaan likuiditas di masing-masing banknya yang dirasa mulai mengetat.
Dua bulan menjelang akhir tahun 2016, sejumlah bankir besar mulai mengeluhkan keadaan likuiditas di masing-masing banknya yang dirasa mulai mengetat. (CNN Indonesia/Safir Makki)
Jakarta, CNN Indonesia -- Dua bulan menjelang akhir tahun 2016, sejumlah bankir besar mulai mengeluhkan keadaan likuiditas di masing-masing banknya yang dirasa mulai mengetat.

Hal ini tentu bukan tanpa dasar. Pasalnya, siklus perbankan pada akhir tahun memang gencar mendorong kredit demi memoles kinerja keuangan sebelum tutup buku tahun ini.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun mencatat likuiditas bank umum sedikit mengetat terutama jika dilihat dari loan to deposits ratio (LDR) yang mencapai 91,71 persen dari periode sama tahun lalu 88,54 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kondisi tersebut pun turut diakui oleh Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartika Wirjoatmodjo. Pria yang kerap disapa Tiko itu mulai menyebut LDR perseroan mulai merangak naik mendekati level 90 persen.

Pengetetatan tersebut menurut Tiko disebabkan oleh dua hal yakni ramainya penarikan uang untuk membayar tebusan tax amnesty  yang mendorong bank untuk menyediakan likuiditas lebih dan perang likuiditas di pasar uang akibat ramainya aksi emisi obligasi di penghujung tahun.

"Masih sangat berat," ujar Tiko pekan lalu.

Hal senada juga diungkapkan oleh Ekonom sekaligus Corporate Secretary Bank Negara Indonesia (BNI) Kiryanto. Pria yang sering disapa Ryan tersebut mengungkapkan rencana pemerintah untuk pre funding melalui emisi Surat Berharga Negara (SBN) akhir tahun ini sebesar RP40 triliun diproyeksi mampu menyerap mayoritas dana segar yang ada di pasar saat ini.

"Saingan dalam memperoleh DPK bagi bank akan sangat berat. Sebenarnya jika ingin pre-funding tidak apa-apa, asal uangnya segera dibelanjakan dan kembali ke bank," ujarnya.

Jika ternyata pengetatan likuiditas tidak bisa terkontrol, Ryan menyebut akan sulit bagi perbankan untuk mewujudkan cita-cita pemerintah atas suku bunga kredit tunggal digit tahun ini mengingat sumber dana yang didapatkan perbankan pun harus diperoleh dengan harga yang mahal.

Dalam kajian bulanannya, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pun merekomendasikan perbankan untuk mulai mempersiapkan penyangga likuiditas (buffer liquidity) untuk menghadapi kemungkinan likuiditas yang seret Desember nanti.

Apesnya,perbankan nasional saat ini tak hanya dipusingkan oleh risiko domestik semata, namun juga oleh sentimen global. Munculnya ketidakpastian mengenai kebijakan the Fed pasca kemenangan Donald Trump dapat mendorong perilaku investor yang alergi terhadap risiko. Perilaku ini berpotensi menimbulkan capital outflow di pasar negara berkembang (emerging market).

Tiga bank sentral utama negara maju mempertahankan kebijakan moneter mereka. Federal Reserve (The Fed) pada 2 November 2016 lalu menetapkan kembali bunga acuan di kisaran 0,25–0,5 persen. Sebelumnya, pada 20 Oktober
2016, Bank Sentral Eropa (ECB) mempertahankan policy rate dan nilai pembelian asetnya di angka 80 miliar euro per bulan.

Sementara, Bank of Japan (BOJ) pada 1 November 2016 lalu telah memutuskan untuk menetapkan kembali suku bunga negatif yakni -0,1 persen untuk simpanan tertentu lembaga keuangan yang ditempatkan di bank sentral.

Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden AS telah menaikkan ketidakpastian di pasar keuangan global. Dengan demikian, BI kini memiliki ruang yang lebih sempit untuk melanjutkan pelonggaran kebijakannya.

Di sisi lain, defisit APBN yang terkendali pada periode Januari–September 2016 memberi kesempatan pada pemerintah untuk mendorong belanjanya dan mendukung pertumbuhan ekonomi di kuartal IV, sehingga mengurangi urgensi BI untuk menurunkan suku bunga.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER