Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani mengaku tidak puas dengan kemajuan skema Kerja Sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) atau Public Private Partnership (PPP). Pasalnya, dalam kurun waktu satu dekade sejak skema ini meluncur, pemerintah dan swasta hanya sanggup menuntaskan financial closing sembilan proyek.
"Sehingga, saya setelah pergi (Menkeu Kabinet Indonesia Jilid I) kemana-mana, balik kembali ketemunya PPP lagi. Jadi, ini memberikan perasaan yang mengingatkan saya bahwa PPP ini sudah berusia 10 tahun," kenangnya, dalam acara PPP Day 2016, Kamis (24/11).
Menurutnya, dalam kurun waktu 10 tahun, sebetulnya, banyak hal yang bisa dipelajari oleh pemerintah dan swasta sebagai bahan evaluasi, termasuk mempelajari rumitnya proses pemenuhan jadwal pembiayaan (financial closing).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, kenyataannya, pemerintah dan swasta hanya menuntaskan financial closing sembilan proyek. Jumlah ini dianggap terlalu sedikit. Adapun, sembilan proyek itu, antara lain proyek Central Java Power Plant, tiga paket proyek Palapa Ring, proyek SPAM Umbulan, dan empat proyek jalan tol.
"Hanya sembilan proyek dalam 10 tahun terlalu sedikit ya. Walaupun, saya akui ketika saya kerja di Bank Dunia, untuk bisa menciptakan dan mengaksekerasi PPP yang lebih cepat, memang it takes along time (membutuhkan waktu cukup panjang). Tapi, kalau sembilan dalam 10 tahun itu terlalu sedikit," tegas Sri Mulyani.
Padahal, saat ini, Indonesia tengah membutuhkan pembiayaan yang begitu besar, sehingga diperlukan peran swasta dalam pembiayaan infrastruktur. Dalam RPJMN 2015-2019 disebutkan kebutuhan pembiayaan infrastruktur Indonesia mencapai Rp4.796 triliun.
Sri Mulyani membeberkan beberapa permasalahan yang menyebabkan lamanya proses financial closing dalam skema PPP. Pertama, kurang matangnya perencanaan pipeline proyek. Secara teknis, yang dilakukan oleh pemerintah dengan swasta memakan waktu cukup lama.
"Entah itu dari sisi feasibility (kelayakan) studinya atau dari sisi koordinasinya, maupun estimasi keekonomian proyek yang terkadang terlalu lama," imbuh mantan direktur pelaksana Bank Dunia.
Koordinasai yang lemah antara instansi, seperti Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kementerian Koordinator Perekonomian, serta pemerintah daerah juga kerap menjadi batu sandungan bagi penyelesaian kesepakatan pembiayaan proyek.
"Kedua, kalau proyeknya sudah siap, kami harus bisa meyakinkan swasta memperoleh rate of return. Apabila dirasa tidak menarik, kami harus memberikan fasilitas agar swasta tertarik," katanya.
Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pemerintah harus memberikan fasilitas seperti Viability Gap Fund (VGF) dan penjaminan infrastruktur yang berguna menjamin swasta tetap mendapat keuntungan dalam proyek infrastruktur publik.
Win-win solution tersebut, Sri Mulyani menilai, diberikan agar kedua belah pihak baik negara maupun swasta tetap mendapat keuntungan dari proyek infrastruktur yang dibangun.
(bir)