Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Perusahaan Batubara Indonesia (APBI) mendesak Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk turun tangan menyelesaikan sengketa restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang diminta pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Generasi III.
Direktur Eksekutif APBI Supriatna Suhala melihat belum ada kemajuan berarti dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam memberi kepastian hukum bagi pengusaha batubara PKP2B Generasi III. APBI mencatat terjadi inkonsistensi perlakuan terhadap pengusaha batubara PKP2B Generasi III dalam pencairan restitusi PPN.
“Menteri Keuangan seharusnya bisa mengeluarkan Surat Edaran sehingga dapat dijadikan acuan oleh kantor pajak membayar restitusi,” kata Supriatna, Kamis (24/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tuntutan agar Sri Mulyani turun tangan, menurutnya berbekal hasil audit Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2015 yang dirilis Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Auditor pemerintah tersebut menemukan pengenaan PPN atas PKP2B Generasi III dipungut secara tidak konsisten.
Berdasarkan surat pemberitahuan tahunan (SPT) perusahaan tambang batubara, ada 53 wajib pajak (WP) PKP2B Generasi III. Dari jumlah tersebut, ada 19 WP yang menganggap batubara adalah barang kena pajak (BKP) sehingga atas penyerahannya terutang sebagai PPN. Sebanyak tujuh WP, menganggap batubara adalah non-BKP sehingga atas penyerahannya tidak terutang PPN. Sedangkan sisanya sebanyak 27 WP tidak diketahui pendapatnya.
Supriatna menilai temuan Badan ini sudah cukup kuat bagi Kementerian Keuangan untuk mengeluarkan Surat Edaran demi memperjelas status batubara PKP2B Generasi III.
“Yang menjadi masalah utama bagi pengusaha adalah perlakuan tidak adil, terutama bagi perusahaan batubara yang pemegang sahamnya asing,” kata Supriatna.
Dia mengatakan kantor pajak A bisa mentafsirkan sebuah pemegang PKP2B Generasi III berstatus Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga batubaranya merupakan BKP, sementara kantor pajak B bisa mentafsirkan sebaliknya.
Supriatna menjelaskan perbedaan penafsiran yang menyebabkan perlakuan berbeda ini bersumber dari penerbitan Undang-Undang Pajak Nomor 19 Tahun 2000 yang menyatakan batubara sebagai bukan BKP, sehingga pemegang PKP2B tidak berhak mengklaim restitusi PPN ke pemerintah.
“Tidak ada masalah dengan restitusi PPN sampai dengan tahun 2000,” kata Supriatna.
Supriatna tidak menjelaskan secara detail mengenai besaran nilai restitusi PPN yang menjadi persoalan antara pemerintah dan pengusaha batubara. “Bagi pengusaha asing, yang terpenting adalah perlakuan adil,” ucapnya.
PKP2B Generasi III merupakan kontrak kerja antara pemerintah pusat dengan kontraktor, atau pengusaha tambang, yang ditandatangani pada periode 1996-1997. Berdasarkan kontrak PKP2B, status kontrak bersifat
lex specialis yang berarti perubahan peraturan setelah tandatangan kontrak tidak berlaku bagi PKP2B Generasi III.
Sementara Firdaus Asikin, Mantan Managing Director Partner Deloitte menilai saat PKP2B ditandatangani dahulu, investor tambang yang notabene diundang datang ke Indonesia oleh pemerintah, tentu membutuhkan kepastian investasi termasuk kepastian di bidang perpajakan.
Kala itu pemerintah memahami permintaan investor asing ini, dan karena itu dibuatlah Undang-Undang yang menjamin kepastian investasi ini, salah satunya adalah kepastian di bidang perpajakan.
“Ketentuan perpajakan diatur berlaku tetap, yaitu mengikuti peraturan perpajakan yang berlaku pada saat Kontrak ditandatangani oleh investor dan pemerintah. Ketentuan dalam kontrak ini berlaku prinsip
lex specialis,” jelasnya.
Tetapi, perubahan Undang-Undang Perpajakan yang terjadi di kemudian hari menimbulkan masalah. PKP2B Generasi III yang isi kontraknya mengatur bahwa batubara adalah barang kena pajak, dan karena itu berhak mendapatkan restitusi PPN, dengan perubahan UU Pajak tidak lagi berhak mendapatkan restitusi PPN karena batubara dinyatakan sebagai barang BKP.
Yang lebih membingungkan para investor adalah faktanya di lapangan ada PKP2B Generasi III yang mendapatkan restitusi PPN, tetapi ada yang tidak dapat.
“Menurut saya ini terjadi karena ada interpretasi yang berbeda-beda dari petugas pajak di lapangan. Sehingga timbullah ketidakpastian usaha karena ketidakpastian hukum,” kata Firdaus.
(gen)