Surabaya, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menilai transformasi pada industri manufaktur merupakan salah satu kunci untuk meningkatkan daya saing global Indonesia. Karenanya, Indonesia membutuhkan strategi transformasi industri yang terencana, komprehensif, dan terkoordinasi sangat dibutuhkan.
Hari ini, Jumat (26/11), Bank Indonesia bersama dengan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan Bank Indonesia menggelar rapat koordinasi dalam rangka mempercepat transformasi industri manufaktur.
Rapat dihadiri oleh Gubernur dan Anggota Dewan Gubernur BI, pejabat tinggi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Kementerian Perindustrian, serta Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sejumlah tantangan masih dihadapi dalam pengembangan sektor industri manufaktur di Indonesia," tutur Gubernur BI Agus D.W. Martowardojo dalam konferensi pers usai menggelar rapat koordinasi di Hotel Shangri-La, Surabaya, akhir pekan lalu.
Agus mengungkapkan, rapat koordinasi mengidentifikasi tujuh tantangan pengembangan sektor industri.
Pertama, kata Agus, postur industri yang tidak imbang dengan komposisi terbesar merupakan industri berskala mikro dan kecil serta peran industri kecil dan menengah (IKM) dalam rantai industri manufaktur Indonesia yang masih belum optimal.
Kedua, relatif rendahnya kualitas sumber daya manusia yang tercermin dari produktivitas tenaga kerja yang kurang kompetitif dan tingkat kekakuan pasar tenaga kerja yang tinggi.
Ketiga, belum tersedianya energi yang andal dengan harga kompetitif.
Keempat, efisiensi logistik dan dukungan industri manufaktur yang masih belum memadai.
Kelima, kebijakan industri yang belum terintegrasi antarlembaga terkait dan antara pemerintah pusat dan daerah.
Keenam, struktur industri yang belum berimbang yang menciptakan ketergantungan bahan baku dan penolong pada luar negeri.
"Tadi Pak Sukarwo (Gubernur Jawa Timur) bilang industri di Jawa Timur itu 79 persen bahan baku dan penolong itu bergantung pada impor," ujarnya.
Ketujuh, keterbatasan sumber pembiayaan industri terutama dari sisi keberagamannya.
"Tantangan pengembangan industri Indonesia akan dijawab melalui Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) yang difokuskan pada upaya meningkatkan nilai tambah SDA (tahap 1), mendorong keunggulan kompetitif dan berwawasan lingkungan (tahap 2), serta menjadikan Indonesia sebagai negara industri tangguh (tahap 3)," ujarnya.
Selanjutnya, rapat koordinasi menghasilkan sejumlah kesepakatan penting yang akan diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang terintegrasi, saling bersinergi, dan secara konsisten diarahkan pada penguatan daya saing industri nasional, dengan prioritas pada berbagai sektor.
Pertama, peningkatan kapabilitas sumber daya manusia melalui perluasan akses pendidikan vokasional dan pengembangan standar kompetensi kerja nasional.
"Hal itu bisa dilakukan melalui pengembangan kerjasama antar akademisi-bisnis-pemerintah, sertifikasi tenaga kerja industri, dan pembangunan sekolah-sekolah vokasi yang spesifik di Kawasan Industri (KI), serta memfasilitasi SMK yang telah ada untuk bekerjasama dengan industri," ujarnya.
Kemudian, perlu ada penyempurnaan dan penataan regulasi terkait ketenagakerjaan, khususnya Undang-undang (UU) No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, yakni dengan menghilangkan pasal-pasal yang dianggap kaku dan mengharmonisasikan dengan UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, untuk memberikan keseimbangan antara penciptaan lapangan kerja dan perlindungan tenaga kerja.
Selanjutnya, pengembangan sektor industri padat tenaga kerja dan berorientasi ekspor serta pengembangan industri berbasis SDA (hilirisasi).
"Industri yang didorong pertumbuhannya antara lain industri berbasis agro (seperti minyak sawit di Sei Mangkei,
green diesel di Dumai, minyak goreng di Bontang), industri berbasis mineral logam (seperti besi beton di Batulicin, baja berbasis pasir besi di Kulon Progo, dan
stainless steel di Morowali), industri yang berbasis migas dan batu bara (seperti methanol di Muara Enim), serta pengembangan sentra industri kecil dan menengah (IKM) di daerah," rincinya.
Penyediaan pasokan energi juga menjadi perhatian, termasuk percepatan pembangunan proyek 35 ribu Megawatt (MW) yang diutamakan pada daerah-daerah yang mengalami defisit listrik. Selain itu, akan dijajaki kemungkinan penyesuaian harga energi yang mendorong daya saing industri, termasuk upaya mengurangi harga gas antara lain dengan memperpendek jalur distribusi penjualan gas.
Selain itu, perlu pembatalan Peraturan Daerah (Perda) yang menghambat pengembangan investasi dan industri di daerah dilakukan dengan melibatkan langsung peran Kepala Daerah dan DPRD, dan Pemerintah Pusat.
Guna mendorong perluasan akses pasar, perlu pengembangan kerjasama antar daerah antara lain melalui pendirian perwakilan dagang sebagai bagian untuk mendorong berkembangnya lalulintas perdagangan antar daerah, serta pengembangan perwakilan dagang di negara mitra.
Terakhir, penyediaan paket insentif investasi oleh Pemda disesuaikan dengan karakteristik daerah untuk mendorong berkembangnya investasi serta didukung upaya untuk mempercepat penyediaan infrastruktur yang sesuai dengan kebutuhan investor serta memperluas akses permodalan.
(gen)