Kuta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menjelaskan peningkatan harga cabai adalah inti permasalahan inflasi hingga akhir tahun ini. Hal tersebut bisa terlihat dari kontribusi harga cabai terhadap inflasi sejak awal tahun (
year-to-date) yang mencapai 16,1 persen dari komponen pembentuk inflasi.
Direktur Eksekutif Ekonomi dan Kebijakan Moneter BI Juda Agung mengatakan, sumbangsih harga cabai hingga November tercatat memberi andil 0,5 persen dari inflasi
year-to-date sebesar 2,59 persen.
Hal ini, lanjutnya, menjadikan komponen harga bergejolak (
volatile) sebagai penyumbang inflasi terbesar tahun ini. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, komponen harga-harga yang diatur pemerintah (
administered prices) selalu memberi andil tertinggi bagi inflasi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), harga bergejolak mencatatkan inflasi sebesar 5,42 persen secara
year-to-date. Sementara itu, komponen harga yang diatur pemerintah malah mencatat deflasi sebesar 0,76 persen.
"Memang harga cabai ini yang sedikit mengganggu, utamanya di akhir-akhir bulan. Sebenarnya kalau kami bilang, sumbangan inflasi dari cabai ini agak unnecessary, namun risiko dari tanaman ini tinggi sekali. Kami rasa memang hingga akhir tahun ini, kontribusi cabai paling kuat," jelas Juda di Kuta, Sabtu (3/12)
Ia melanjutkan, kenaikan harga cabai ini disebabkan karena musim hujan yang tinggi di penghujung tahun. Sehingga, cabai akan menjadi busuk dan tidak bisa dikonsumsi, mengingat cabai sangat rentan oleh air.
Di samping itu, beberapa tanaman cabai di Sumatera Utara juga tengah mengalami virus kuning, sehingga panen cabai berkurang. "Memang utamanya cabai ini berkontribusi banyak terhadap inflasi di wilayah Sumatera," jelasnya.
Kendati demikian, pedasnya harga cabai ini diprediksi tidak akan membuat inflasi akhir tahun melenceng dari rentang target BI, yaitu 4 plus minus 1 persen. Menurut Juda, inflasi hingga akhir tahun akan berada berada di dalam rentang 3,1 hingga 3,2 persen.
Waspada Subsidi Listrik dan ElpijiDi samping itu, meski komponen harga bergejolak menjadi kontributor utama tahun ini, namun BI tetap mewaspadai terjangan komponen harga-harga yang diatur pemerintah untuk inflasi tahun depan. Pasalnya, pemerintah akan mulai mencabut subsidi listrik berdaya 900 Volt Ampere (VA) per 1 Januari 2016 mendatang.
Menurut perhitungannya, pencabutan subsidi listrik akan memberi andil 0,95 persen terhadap inflasi. Dampak listrik pada tahun depan memang diperkirakan akan lebih tajam dibanding kontribusi cabai di tahun ini, namun inflasi tahun depan diprediksi masih sesuai target BI yaitu 4 plus minus 1 persen.
Namun, instansinya juga mencermati dampak pengurangan subsidi bagi Liquefied Petroleum Gas (LPG/Elpiji) 3 kg melalui skema distribusi tertutup yang dimulai tahun depan. Jika ini dilakukan, maka akan ada 31,3 juta Kepala Keluarga (KK) yang tak bisa menggunakan tabung elpiji melon mulai tahun depan.
Akibatnya, konsumen tersebut terpaksa beralih ke produk elpiji non-subsidi yang harganya tentu lebih mahal. Sehingga, distribusi elpiji tertutup juga bisa menyumbang inflasi 0,31 persen. Jika semua pencabutan subsidi energi ini diterapkan, maka inflasi tahun depan bisa melenceng dari target dan melebihi angka 5 persen.
"Pencabutan subsidi listrik 900 VA kan harusnya tahun ini. Jika diimplementasikan tahun depan dengan pencabutan subsidi-subsidi lainnya, saya rasa ini bisa membuat target inflasi melenceng dari target. Kami dengar, pemerintah juga akan mencabut subsidi listrik 450 VA, kami hanya mengimbau agar seluruh pencabutan subsidi energi ini tidak dilakukan secara berbarengan," ujarnya.
(gir)