Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak mencapai puncak tertinggi selama 18 bulan terakhir pada perdagangan Senin (13/12) waktu Amerika Serikat setelah organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dan negara-negara non-OPEC sepakat mengurangi produksi minyak untuk mengurangi kelebihan suplai.
Tercatat, harga minyak WTI ditutup menguat US$1,33 ke angka US$52,83 per barel. Sementara itu, harga minyak Brent naik US$1,36 ke angka US$57,89, atau yang tertinggi sejak pertengahan 2015.
Dikutip dari
Reuters, negara-negara non-OPEC, yang dipimpin oleh Rusia, sepakat untuk memangkas produksi 558 ribu barel per hari, atau di bawah target 600 ribu barel per hari yang dicanangkan sebelumnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini menindaklanjuti kesepakatan OPEC tanggal 30 November lalu di Wina, Austria, di mana organisasi kartel minyak itu sepakat menurunkan produksi sebesar 1,2 juta barel per hari mulai tanggal 1 Januari 2017 mendatang. Pemangkasan terbesar muncul dari Arab Saudi sebesar 486 ribu barel per hari.
Setelah itu, harga minyak berjangka telah menanjak tajam, di mana harga West Texas Intermediate (WTI) berjangka mencapai 23 persen sejak pertengahan November.
Kendati demikian, analis khawatir pergerakan ini tak bersifat permanen. Selain itu, pasar khawatir bahwa harga tersebut berlebihan, mengingat ada kemungkinan beberapa negara tidak memenuhi janjinya memangkas produksi.
Agar kesepakatan berjalan mulus, semua pihak harus tetap menjaga janjinya. Harga yang tinggi juga menyebabkan beberapa produsen meningkatkan produksinya, seperti minyak shale AS yang jumlah pengeborannya meningkat terus beberapa waktu terakhir.