Jakarta, CNN Indonesia -- Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menolak permohonan uji materi atau gugatan sejumlah pihak atas Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak (
tax amnesty). Pasalnya, UU Pengampunan Pajak dinilai tidak bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945.
Sebelumnya, sidang pemeriksaan meliputi empat perkara yaitu perkara dengan nomor registrasi 57/PUU-XIV/2016, 58/PUU-XIV/2016, 59/PUU-XIV/2016, dan 63/PUU-XIV/2016.
Dengan rincian, Perkara Nomor 57/PUU-XIV/2016 atas pemohon Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI), Samsul Hidayat, dan Abdul Kodir Jailani.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikutnya, Perkara Nomor 58/PUU-XIV/2016 atas pemohon Yayasan Satu Keadilan (YKS).
Selanjutnya, Perkara Nomor 59/PUU-XIV/2016 atas pemohon Leni Indrawati, Hariyanto, dan Wahyu Mulyana.
Terakhir, Perkara Nomor 63/PUU-XIV/2016 atas pemohon Dewan Pengurus Pusat Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (DPPSBSI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).
"Amar Putusan. Mengadili menolak permohonan Pemohon untuk seluruhnya," tutur Ketua MK Arief Hidayat, selaku pimpinan Sidang Pengucapan Putusan uji materi UU Pengampunan Pajak, saat membacakan putusan perkara 57/PUU-XVI/2016 di Gedung MK, Rabu (14/12).
Para pemohon menyoal ketentuan dalam UU Pengampunan Pajak yang dinilai telah melukai rasa keadilan dalam masyarakat karena bersifat diskriminatif dengan membedakan kedudukan warga negara sebagai warga negara pembayar pajak dan warga negara tidak membayar pajak.
Selain itu, ketentuan ini juga dinilai memberikan hak khusus secara eksklusif kepada pihak yang tidak taat pajak, berupa pembebasan sanksi administrasi, proses pemeriksaan, dan sanksi pidana.
Sejumlah pasal yang digugat oleh pemohon antara lain Pasal 1 angka 1 dan angka 7, Pasal 3 ayat(1) dan ayat (3), Pasal 4, Pasal 6, Pasal 11 ayat (2),ayat (3), dan ayat (5),Pasal 21 ayat (2), Pasal 22, dan Pasal 23 ayat (2) UU Pengampunan Pajak.
Beberapa saksi ahli diajukan pemohon diantaranya pakar Hukum Perdagangan Internasional M. Reza Syarifuddin Zaki yang menilai UU Pengampunan pajak menciptakan inkonsistensi terhadap rezim undang-undang perpajakan.
Kemudian, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gajah Mada Akhmad Akbar Susanto menilai pengampunan pajak tidak relevan bagi para wajib pajak yang selama ini telah taat. Sebaliknya, pengampunan pajak sangat relevan bagi para wajib pajak yang selama ini tidak membayarkan kewajiban pajak mereka.
Sementara, Presiden Joko Widodo dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati turun tangan langsung untuk melakukan pembelaan selaku pembentuk UU Pengampunan Pajak.
Pada Selasa (20/9), Sri Mulyani mengungkapkan bahwa program pengampunan pajak ini tidak merugikan masyarakat miskin, namun justru memberikan keuntungan kepada masyarakat secara luas. Keuntungan pengampunan pajak, lanjut Sri Mulyani, yakni adanya dana repatriasi yang dapat menggerakkan perekonomian nasional. Kemudian, uang tebusan
tax amnesty dapat digunakan secara langsung bagi pembangunan.
Dalam pembelaannya, pemerintah juga mengajukan 12 saksi ahli diantara Mantan Menteri Keuangan Chatib Basri, serta pengamat pajak Darussalam dan Yustinus Prastowo.
Pada sidang Senin (31/10) silam, Chatib mengatakan target penerimaan pajak harus dinaikkan agar target belanjanya bisa dilakukan. Jika tidak, maka akan terjadi
economic slowdown yang menyebabkan potensi penerimaan negara juga mengalami penurunan.
Sementara, Yustinus Prastowo yang juga merupakan pengamat perpajakan menyampaikan potret buram perpajakan Indonesia. Dikatakan Yustinus, perbandingan penerimaan pajak Indonesia dengan negara Iain terutama negara sebaya menunjukkan Indonesia termasuk yang paling rendah.
Setelah mendengar keterangan pemohon, pembentuk UU (pemerintah), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan seluruh saksi ahli, Mahkamah menilai, secara garis besar poin-poin yang disoalkan pemohon atas UU Pengampunan Pajak ada yang tidak beralasan menurut hukum dan tidak diterima.
Mahkamah berpendapat bahwa terdapat alasan mendesak dan mendasar bagi pemerintah untuk mengambil kebijakan pengampunan pajak melalui UU Pengampunan Pajak. Salah satunya, pemerintah berusaha mengumpulkan pendapatan negara dalam bentuk pajak untuk membiayai pembangunan di tengah kepatuhan pajak yang masih rendah.
"Secara prinsip, pengampunan pajak yang esensinya adalah berupa pelepasan hak negara untuk menagih pajak yang seharusnya terutang atau mengenakan pajak dalam suatu periode tertentu, dihubungkan dengan tujuan diambilnya kebijakan itu, tidaklah bertentangan dengan UUD 1945," tutur Suhartoyo, salah satu Hakim Konstitusi di tempat yang sama.
Sesuai UU Pengampunan Pajak, tujuan dari amnesti pajak adalah merepatriasi dana yang ditempatkan warga negara Indonesia di luar negeri untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan basis pajak, dan meningkatkan penerimaan pajak dari penerimaan uang tebusan.
(gen)