Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor Indonesia pada bulan November 2016 senilai US$13,5 miliar atau melonjak 5,91 persen dibanding bulan sebelumnya sebesar US$12,75 miliar.
Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo menjelaskan, peningkatan ekspor tersebut digerakkan oleh dua komoditas utama, yaitu kelapa sawit dan batu bara. Menurut data yang dimilikinya, terjadi peningkatan ekspor golongan minyak dan lemak hewan nabati senilai US$366,1 juta dan bahan bakar mineral sebesar US$141,6 juta antara bulan Oktober dan November.
Dengan kata lain, 67,7 persen dari total kenaikan ekspor sebesar US$750 juta antara dua periode tersebut disumbang oleh dua komoditas tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Memang kenaikan ekspor sangat spektakuler, di mana dua komoditas yang berperan banyak adalah minyak kelapa sawit (
Crude Palm Oil/CPO) dan batu bara. CPO di sini termasuk produksi turunan pertama, kedua, hingga yang paling hilir sekalipun," ujar Sasmito di kantornya, Kamis (15/12).
Lebih lanjut ia menjelaskan, melonjaknya ekspor CPO ini dikarenakan volume yang meningkat menjelang akhir tahun. Menurutnya, ini merupakan perbaikan apabila dibandingkan pertengahan tahun lalu, di mana ekspor kelapa sawit sempat turun gara-gara musim yang tidak baik.
Sementara itu, nilai ekspor batu bara meningkat karena banyak produsen yang memanfaatkan perbaikan harga dan produksi batu bara. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Harga Batubara Acuan (HBA) pada bulan November 2016 telah mencapai US$84,89 per ton pada bulan November 2016, atau meningkat 22,9 persen dibandingkan bulan Oktober sebesar US$69,07 per ton.
"Tapi meski volume ekspor CPO meningkat, harganya malah cenderung melemah dibandingkan bulan-bulan sebelumnya. Tapi tetap saja, kontribusi ini menyumbang peningkatan tertinggi untuk ekspor, yang artinya memang ekspor kita masih sangat bergantung pada dua komoditas ini," ujarnya.
Akibat perbaikan kondisi di kelapa sawit dan batu bara, hal ini menyebabkan pertumbuhan ekspor sebesar 21,34 persen secara tahunan (
year on year) dibanding periode yang sama tahun lalu US$11,12 miliar. Menurut Sasmito, angka ini adalah pertumbuhan year-on-year tertinggi setidaknya dalam enam tahun terakhir.
Namun menurut Sasmito, Indonesia seharusnya mulai mengurangi ketergantungan akan ekspor komoditas. Pasalnya, nilai ekspor dari komoditas tentu sangat rentan akan fluktuasi harga. Sehingga, basis ekspor Indonesia menjadi tidak kuat.
"Pertumbuhan yang tinggi ini adalah hal yang menyegarkan. Namun di masa depan, seharusnya ekspor Indonesia sudah mulai bergeser ke arah barang yang memiliki nilai tambah. Di samping itu, mungkin tak hanya ekspor barang, tapi Indonesia juga harus bisa ekspor jasa," pungkas Sasmito.
Sebagai informasi, ekspor pada bulan November 2016 tercatat sebesar US$13,5 miliar dengan impor sebesar US$12,66 miliar. Dengan kata lain, terjadi surplus perdagangan sebesar US$837,8 miliar sepanjang periode tersebut.
Sementara itu, nilai ekspor Indonesia sepanjang tahun kalender 2016 (
year to date/ytd) tercatat US$130,65 miliar dengan impor sebesar US$122,85 miliar. Sehingga sampai sejauh ini, Indonesia mengalami surplus US$7,79 miliar.
(gen)