BPS Anggap Pelemahan Rupiah Bagus Buat Genjot Nilai Ekspor

Galih Gumelar | CNN Indonesia
Kamis, 15 Des 2016 15:33 WIB
Keputusan The Fed menaikkan suku bunga dinilai akan mendepresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang menguntungkan eksportir.
Keputusan The Fed menaikkan suku bunga dinilai akan mendepresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang menguntungkan eksportir. (REUTERS/Beawiharta)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut langkah Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dalam menaikkan suku bunga acuan Fed Rate bisa membantu Indonesia dalam meningkatkan nilai ekspornya. Pasalnya, peningkatan suku bunga acuan membuat mata uang Dolar AS menguat, dan membuat Rupiah menjadi terdepresiasi.

Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo mengatakan, kebijakan ini akan membuat Rupiah tertekan dalam jangka pendek. Sehingga, ia memprediksi nilai tukar eceran Rupiah di bulan ini akan melemah dari posisi bulan November sebesar Rp13.500 per Dolar AS.

Kendati demikian, momen depresiasi ini seharusnya bisa diikuti dengan ekspansi ekspor. Pasalnya, dengan nilai mata uang yang lebih rendah, produk ekspor Indonesia harusnya bisa lebih efisien dan memiliki daya saing.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika suku bunga acuan AS meningkat, tentu Rupiah akan melemah terlebih dahulu. Tapi kalau Rupiah melemah, maka ini adalah kesempatan bagi barang ekspor agar lebih gampang dijual di luar negeri," terang Sasmito, Kamis (15/12)

Dengan memperbanyak jumlah ekspor, menurutnya hal ini bisa menahan laju pelemahan Rupiah semakin dalam. Karena semakin tinggi ekspor, permintaan akan mata uang Rupiah juga semakin deras.

Lebih lanjut, ia menyebut jika daya saing produk ekspor ini bisa bermanfaat pada tahun depan, di mana pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan akan membaik. Sehingga, ada ekspektasi bahwa permintaan barang dan jasa dari Indonesia bisa meningkat.

Namun menurutnya, Indonesia tidak cukup hanya mengandalkan produk ekspor biasa seperti komoditas perkebunan dan barang tambang. Momentum ini, lanjutnya, pasti akan terasa manfaatnya jika diiringi dengan diversifikasi ekspor.

"Selain andalkan komoditas ekspor tradisional, kita harus andalkan komoditas lainnya khususnya yang unik dan kreatif. Banyak produk yang punya kesempatan untuk didorong. Tak hanya ekspor barang namun ekspor jasa," lanjutnya.

Di samping itu, ia juga menyebut jika depresiasi ini juga bisa bermanfaat bagi hubungan dagang dengan AS, meski ada ancaman kebijakan proteksionisme dagang dari Presiden AS terpilih, Donald Trump. Menurutnya, perdagangan internasional pasti akan dibutuhkan oleh semua negara, sehingga ia yakin kebijakan ini hanya akan menjadi wacana semata.

"Apakah perdagangan AS akan lebih protektif? Saya kira, saya tidak yakin. Karena semua negara butuh perdagangan internasional, karena tak semua kebutuhan suatu negara bisa dipenuhi secara swadaya. Contohnya, Amerika Serikat saja impor udang dari Indonesia," terangnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Rapat Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang digelar 13-14 Desember 2016 memutuskan untuk menaikkan FFR sebesar 25 basis poin dari pada kisaran 0,25 hingga 0,5 persen menjadi 0,5 hingga 0,75 persen. Salah satu pemicunya adalah untuk meningkatkan ekonomi selama satu bulan ke depan sebelum Presiden terpilih Donald Trump secara resmi berkantor di Gedung Putih.

Sebagai informasi, ekspor non-migas ke AS pada sepanjang Januari hingga November 2016 tercatat sebesar US$14,22 miliar, atau 11,97 persen dari total ekspor sebesar US$130,65 miliar. Sementara itu, nilai impor non-migas dari negara Paman Sam itu tercatat US$6,54 miliar pada periode yang sama. Artinya, terdapat surplus US$7,68 miliar dari aktivitas perdagangan kedua negara. (gen)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER