Faisal Basri: Ekonomi Indonesia 'Tergencet' Luar Dalam

Giras Pasopati | CNN Indonesia
Jumat, 23 Des 2016 07:43 WIB
Pengamat ekonomi tersebut menilai perekonomian Indonesia menghadapi tantangan berat karena tekanan dari luar maupun dalam negeri. Modal asing jadi harapan.
Pengamat ekonomi tersebut menilai perekonomian Indonesia menghadapi tantangan berat karena tekanan dari luar maupun dalam negeri. Modal asing jadi harapan. (CNN Indonesia/Gentur Putro Jati)
Jakarta, CNN Indonesia -- Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri menyatakan perekonomian Indonesia kini menghadapi tantangan yang berat karena tekanan dari luar maupun dalam negeri. Ia menilai pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi hanya bisa dicapai dengan banyak menarik modal asing.

“Kini globalisasi meredup. Justru negara-negara kampiun liberalisasi ekonomi menjadi simbol deglobalisasi. Integrasi perekonomian global dihadang oleh gejala fragmentasi,” tulis Faisal dalam situs pribadinya, Kamis (22/12).

Ia menjelaskan, gejala makin terlihat ketika Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, sesumbar akan membatalkan perjanjian Trans Pacific Partnership (TPP) pada hari pertama menjabat sebagai presiden.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Trump pun akan meninjau perjanjian North American Free Trade Agreement (NAFTA) yang beranggotakan tiga negara (Amerika Serikat, Kanada, dan Meksiko). Bahkan, Donald Trump berencana membangun tembok pemisah di perbatasan dengan Meksiko.

Sementara, rakyat Inggris telah menentukan pilihan lewat Referendum 23 Juni 2016 untuk keluar dari keanggotaan Uni Eropa. Semakin banyak pula negara Uni Eropa yang menolak gelombang pengungsi akibat perang saudara tak berkesudahan di Timur Tengah.

“Kemunculan populisme yang meluas di Eropa. Fenomena ini dijumpai mulai Swedia yang sangat makmur hingga Yunani yang sedang dilanda krisis ekonomi parah,” imbuh Faisal.

Faisal menjelaskan, salah satu pengertian yang lebih umum tentang populism adalah kecurigaan dan permusuhan terhadap elit, politik mainstream, dan lembaga-lembaga mapan. Populisme melihat dirinya berbicara untuk orang “biasa” yang dilupakan atau tersingkirkan dan sering memandang dirinya sebagai suara patriotisme sejati.

“Kajian International Monetary Fund (IMF) menunjukkan pada dasawarsa 1990-an, 1 persen pertumbuhan global meningkatkan volume perdagangan sebesar 2,5 persen, sedangkan dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan yang sama hanya meningkatkan perdagangan sebesar 0,7 persen,” ungkapnya.

Tekanan dari Dalam

Faisal menyatakan, tekanan pada kelompok masyarakat berpendapatan rendah serta praktek kapitalisme kroni yang semakin marak menyebabkan ketimpangan pendapatan dan kekayaan memburuk.

“Satu persen orang terkaya menguasai 50,3 persen kekayaan nasional dan 10 persen terkaya menguasai 77 persen kekayaan nasional. Kondisi demikian tak boleh dibiarkan karena menjadi benih-benih subur kemunculan radikalisme yang mengancam harmoni sosial dan kerawanan politik,” katanya.

Sementara, pembentukan modal tetap bruto atau investasi sebagai penyumbang terbesar kedua terhadap perekonomian sudah empat tahun tumbuh rendah, tak pernah menembus 7 persen, bahkan lebih kerap di bawah 5 persen. Itu pun, dalam lima tahun terakhir, sebagian besar (74 persen) dalam bentuk bangunan, sedangkan dalam bentuk mesin dan peralatan hanya 11 persen.

Ia juga menggarisbawahi, belanja pemerintah yang terlalu agresif seraya penerimaan pajak tak bisa dipaksakan naik tinggi membuat defisit APBN meningkat hingga mendekati 3 persen PDB, sehingga utang pemerintah pun mau tak mau menggelembung.

“Konsekuensi logisnya, dana masyarakat semakin banyak yang berpindah dari perbankan ke kas pemerintah, yang pada gilirannya membuat perbankan tidak bisa memacu penyaluran kredit. Akibatnya terjadi crowding out sehingga menekan pertumbuhan ekonomi,” jelasnya.

Faisal mengungkapkan, mau tidak mau, jika hendak memaksakan pertumbuhan lebih tinggi, maka pemerintah harus mengundang lebih banyak modal asing.

“Di tengah perekonomian dunia yang serba tidak menentu, stabilitas makroekonomi menjadi taruhannya, apalagi kebanyakan modal asing yang masuk adalah portofolio yang gampang masuk tetapi juga gampang keluar,” tukas Faisal. (gir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER