Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mencermati masih banyak Kementerian/Lembaga (K/L) yang melakukan perencanaan anggaran berlebih (
over-budgeting). Hal ini menjadi salah satu faktor tidak optimalnya serapan pagu belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya.
"Nampaknya ada kecenderungan bahwa banyak proyek, seperti yang dikatakan banyak Menteri seperti Bu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti), mengalami over-budgeting cukup besar," tutur Sri Mulyani saat ditemui di Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta I, Jumat (23/12) malam pekan lalu.
Dari sisi pengelolaan anggaran, lanjut Sri Mulyani,
over-budgeting mengakibatkan jumlah alokasi anggaran menjadi terlalu besar. Hal ini, pada akhirnya, berpengaruh terhadap besaran defisit anggaran dan besaran utang yang harus dicari Kemenkeu untuk menutup defisit tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Katakanlah,
over-budgeting sebesar 5 persen dari APBN senilai total Rp2 ribu triliun itu Rp100 triliun. Kalau kita bisa melakukan penganggaran yang lebih akurat maka sebetulnya kita tidak perlu membuat anggaran belanja Rp100 triliun lebih tinggi," ujarnya.
Karenanya, Sri Mulyani menginstruksikan anak buahnya, khususnya Direktorat Jenderal Anggaran dan Direktorat Jenderal Perbendaharaan, untuk membuat kajian khusus terkait proses perencanaan anggaran K/L. Dengan demikian, ke depan, proses perencanaan anggaran bisa lebih baik dan akurasi estimasi besaran anggaran K/L bisa meningkat.
"Saya minta kepada Direktorat Jenderal Anggaran untuk terus melakukan kajian mengenai
over-budgeting atau kecenderungan untuk nilai yang lebih tinggi itu seberapa banyak," ujarnya.
Perbaikan Penyusunan AnggaranSecara terpisah, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Mohammad Faisal mengungkapkan tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengubah kebiasaan
over-budgeting dalam perencanaan belanja K/L.
Pertama, diperlukan adanya keinginan politik yang kuat (political will) dari pemimpin K/L terkait untuk mengubah kebiasaan melakukan
over-budgeting.
"Untuk mengubah kebiasaan itu memang perlu kekuatan yang cukup dan kemauan politik yang kuat," ujar Faisal.
Kedua, perbaikan atau revolusi K/L harus dilakukan secara menyeluruh. Menurutnya proses penyusunan anggaran tak lepas dari proses lobi antara pihak yang mengajukan anggaran dengan pihak yang menyetujui anggaran.
Untuk itu, Tim Pemantau proses penyusunan anggaran harus memiliki kredibilitas sehingga bisa menyeleksi program dan anggaran yang diperlukan lebih baik.
"Baik dari biro keuangan di masing-masing kementerian, juga dari pejabat terkait di kementerian keuangan yang mengawasi rencana penganggaran, harus betul-betul kredibel orangnya," jelasnya.
Terakhir, perlu sistem reward and punishment yang tepat agar menjadi insentif untuk melakukan penghematan anggaran K/L. Saat ini, besaran penyerapan anggaran masih menjadi tolak ukur keberhasilan kinerja.
"Jika penyerapan anggarannya semakin kecil maka performa K/L dianggap semakin jelek. Hukuman di siklus penganggaran berikutnya yaitu anggaran dipotong atau tidak dinaikknya. Ini kan memberikan disinsentif bagi penghematan," jelasnya.
Karenanya, Faisal menyarankan kinerja K/L tidak hanya dilihat dari besar anggaran yang terserap tetapi dari output kegiatan terkait.
Sebagai informasi, tahun lalu, serapan belanja APBNP 2015 tercatat sebesar Rp1.810 triliun atau 91,2 persen dari pagu. Tahun ini, serapan belanja anggaran ditargetkan mencapai 98 persen dari pagu APBNP 2016 setelah dipotong penghematan sebesar Rp137,6 triliun.
(gen)