Pemerintah dan Bank Bisa Perang Likuiditas Gara-Gara SBN

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Kamis, 29 Des 2016 16:46 WIB
Perbankan tak mau kalah dengan imbal hasil SBN yang tinggi. Sehingga, imbal hasil dana pihak ketiga pun tak kunjung turun.
Perbankan tak mau kalah dengan imbal hasil SBN yang tinggi. Sehingga, imbal hasil dana pihak ketiga pun tak kunjung turun. (CNNIndonesia/Safir Makki).
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengkritisi penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) di tengah ketatnya likuiditas perbankan saat ini. Ini mengindikasikan bahwa kebijakan fiskal sedang tidak akur dengan kondisi moneter Indonesia.

"Waktu penerbitan SBN menjadi isu krusial karena seringkali berdekatan dengan penerbitan instrumen deposito atau surat utang perbankan," tutur Peneliti Indef Bhima Yudhistira Adhinegara dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (29/12).

Miskoordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter mengakibatkan pemerintah dan sektor perbankan saling berebut dana. Akibatnya, ini menjadi dilema, baik bagi perbankan maupun pemerintah.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Bhima menjelaskan, pemerintah perlu menerbitkan SBN untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Sebagai contoh, pemerintah menerapkan kebijakan pencarian utang lebih awal (prefunding) untuk belanja fiskal awal 2017. Awal bulan ini, pemerintah juga telah menerbitkan obligasi global senilai US$3,5 miliar.

Namun, akibatnya, perbankan harus memasang imbal hasil yang lebih tinggi dibanding imbal hasil (yield) SBN untuk memenangkan persaingan penghimpunan dana ini. Bhima mengatakan, imbal hasil SBN saat ini pun sudah cukup tinggi, yaitu berada di kisaran 8 hingga 9 persen.

"SBN yang diterbitkan oleh pemerintah tentu jadi pesaing dari obligasi negara dan dana deposito," ujarnya.

Implikasinya, biaya penghimpunan dana (cost of fund) perbankan tetap tak beranjak turun. Ini terlihat dari pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan yang melambat sejak tahun lalu.

Bhima menuturkan, pertumbuhan DPK pada Agustus 2015 tercatat sebesar 13,24 persen. Namun, pertumbuhannya hanya mencapai 5,58 persen pada periode yang sama tahun ini.

Sayangnya, perlambatan pertumbuhan DPK menyebabkan likuiditas perbankan semakin ketat. Bhima mencontohkan rasio pinjaman terhadap simpanan perbankan (Loan to Deposit Ratio) yang mencapai 90,4 persen pada Agustus 2016.

Kesulitan likuiditas itu pun diperparah dengan pembayaran uang tebusan peserta amnesti pajak yang diambil dari simpanan perbankan. Kendati demikian, tidak semua bank menjadi bank persepsi penerima dana repatriasi.

"Dana repatriasi yang diharapkan masuk ke Indonesia, sampai hari ini, belum terealisasi semua. Faktanya, tidak semua aset repatriasi itu dalam bentuk cash," paparnya.

Fenomena Lazy Bank

Ketatnya kondisi likuiditas membuat perbankan termotivasi untuk menempatkan dananya di SBN. Apalagi, rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan) masih belum menunjukkan perbaikan, sehingga perbankan memilih bermain aman untuk menempatkan dananya di surat berharga.

Ini terlihat dari pertumbuhan nilai SBN yang dimiliki perbankan. Per 9 November 2016, perbankan memiliki SBN yang dapat diperdagangkan senilai Rp435,13 triliun. Angka ini meningkat 12,99 persen dibandingkan posisi per 4 Januari 2016.

Sementara itu, porsi kepemilikan SBN Rupiah oleh perbankan mencapai 24,73 persen dari total SBN Rupiah yang dapat diperdagangkan.

Kondisi ini, lanjut Bhima, bukan sepenuhnya kesalahan bank. Pasalnya, pelaku usaha pun masih belum percaya diri untuk menarik pinjaman sepanjang tahun ini.

"Fenomena ini disebut dengan fenomena lazy bank di mana bank malas menyalurkan kredit," imbuhnya.

Ke depan, Bhima berharap, ada koordinasi pemerintah antara sektor perbankan untuk mengatur waktu penerbitan SBN. Dengan demikian, perang perebutan likuiditas dapat diminimalisasi. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER