Gugat Aturan Ekspor Mineral Buatan Jonan, LSM Yakin Menang

CNN Indonesia
Rabu, 18 Jan 2017 16:15 WIB
Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi menyatakan dua Peraturan Menteri ESDM menyalahi pasal 102, 103, dan 170 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009.
Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi menyatakan dua peraturan tersebut menyalahi pasal 102, 103, dan 170 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009. (CNN Indonesia/Galih Gumelar)
Jakarta, CNN Indonesia -- Sejumlah lembaga swadaya masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Pengawal Konstitusi optimistis, gugatan yang diajukan atas dua beleid mineral dan batubara (minerba) yang diajukan ke Mahkamah Agung bisa dimenangkan.

Perwakilan koalisi Ahmad Redi beralasan, pemerintah sendiri sudah tahu bahwa dua peraturan tersebut, yaitu Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017, menyalahi pasal 102, 103, dan 170 Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009.

Namun, karena kepastian hukum perlu didapatkan sebelum tanggal 12 Januari 2017, maka pemerintah buru-buru mengeluarkan peraturan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 dan dua Permen yang dimaksud.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai informasi, tanggal 12 Januari 2017 merupakan batas waktu pelaksanaan relaksasi ekspor mineral sesuai Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014.

"Saya optimistis, bahwa kami bisa menang karena pemerintah sendiri tahu bahwa beleid ini melanggar hukum. Mungkin pemerintah ingin memberi kepastian hukum pada 12 januari lalu, tapi yang ada malah melanggar hukum. Pemerintah jelas salah," ujar Redi, Rabu (18/1).

Lebih lanjut ia menuturkan, saat ini tim koalisi sedang mengumpulkan pendapat para ahli sebelum mengajukan gugatan ke MA. Ia berharap, minggu depan gugatan ini sudah bisa diajukan.

"Selain ada argumentasi hukum, terdapat pula pendapat ahli dan Doktor hukum yang sepaham dengan kami. Kami minta keterangan tertulis, ini yang kami sekarang sedang kumpulkan dan kami konsolidasi terus menerus," terang Redi.

Secara lebih rinci, ia menuturkan beberapa poin gugatan yang tercantum di dalam dua peraturan tersebut.

Yang pertama, adalah pemberian kelonggaran ekspor dalam jangka waktu lima tahun mendatang. Hal ini dianggap bertentangan dengan pasal 170 UU Minerba, di mana fasilitas pemurnian harus sudah dilakukan lima tahun setelah UU Minerba diundangkan, atau tahun 2014.

Yang kedua, adalah mekanisme perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang terkesan mengabaikan sistem yang berlaku. Seharusnya, lanjut Redi, rangkaian perubahan tersebut bermula dari status wilayah cadangan negara, di mana hal itu ditetapkan terlebih dahulu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan selanjutnya diubah menjadi wilayah pertambangan khusus (WPK).

Bila telah berubah menjadi IUPK, maka seharusnya pemerintah menawarkannya terlebih dahulu kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kemudian ditawarkan kepada perusahaan swasta dalam tahapan lelang.

Poin gugatan ketiga, adalah pelonggaran ekspor minerba yang diberikan kepada perusahaan yang telah berstatus IUPK. Padahal, pemerintah seharusnya tak lagi memberi izin ekspor minerba kepada perusahaan tambang yang tak kunjung membangun smelter.

Ia juga menyebut, koalisi tak akan menggugat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang merupakan induk dari dua peraturan itu. Pasalnya, potensi pelanggaran UU terdapat di dua beleid yang dimaksud.

Kendati demikian, ia tak tahu berapa lama gugatan itu akan diproses oleh MA. "Kami tak bisa tebak karena perkara yang diurusi oleh MA mungkin juga cukup banyak," terangnya.

Melengkapi ucapan Redi, Koordinator Nasional Publish What You Pay (PWYP) Maryati Abdullah menjelaskan, dua beleid tersebut seharusnya bersifat non-aktif begitu dilakukan peninjauan kembali. Apalagi, kedua peraturan tersebut juga dianggap menyalahi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 10/PUU-XII/2014 tentang Hasil Uji Materil terhadap Pasal 102 dan Pasal 103.

"Seharusnya begitu gugatan ini masuk, maka tidak boleh ada pemberian rekomendasi ekspor mineral. Karena ini kan masih dalam proses," jelasnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER