Jakarta, CNN Indonesia -- Pelaku usaha hulu migas tidak mau terlalu optimistis dengan pemberlakuan kontrak bagi hasil produksi (
Production Sharing Contract/PSC)
gross split sebagai pengganti PSC
cost recovery. Daripada terlalu yakin, pelaku usaha memilih untuk menunggu dampak dari perubahan rezim PSC tersebut.
Direktur Indonesian Petroleum Association (IPA) Sammy Hamzah berkaca dari pelaksanaan
gross split bagi lapangan migas non konvensional melalui Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 38 Tahun 2015, yang hingga saat ini tidak bisa menggaet investor.
Menurutnya, mengganti sistem PSC bukan satu-satunya cara dalam menggaet investasi hulu migas. Pemerintah, lanjutnya, seharusnya bisa memastikan bahwa tingkat keekonomian bisa lebih baik dibandingkan PSC
cost recovery.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami apresiasi saat ini ada implementasi
gross split. Yang kami ingin tekankan, tolak ukur pemain
existing saat ini adalah perbandingan dengan apa yang dimilikinya saat ini. Jika memang tidak lebih baik, ya tidak diambil," terang Sammy, Kamis (19/1).
Lebih lanjut ia mengatakan, pemerintah juga seharusnya menjabarkan secara rinci peran Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) setelah
gross split mulai diberlakukan.
Memang, urusan penganggaran kegiatan operasional tidak menjadi ranah regulator hulu migas itu. Namun, pelaku usaha masih membutuhkan kejelasan mengenai persetujuan rencana pengembangan (
Plan of Development/PoD) dan rencana kerja Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) melalui
Work Program and Budget (WP&B).
Pasalnya, investor masih belum menemukan bukti bahwa proses perizinan bisa lebih mudah dan menghasilkan rentang waktu yang lebih sedikit antara eksplorasi dan produksi migas pertama.
Sebelumnya, pemerintah sendiri berharap implementasi
gross split bisa membuat rentang waktu antara eksplorasi dan produksi migas pertama bisa menjadi 12 atau 13 tahun, dari angka saat ini yakni 15 tahun.
"Kami tunggu bagaimana SKK Migas mengelola ini. Apakah benar nantinya proses lebih simpel dan
time to production lebih pendek," terangnya.
Pertaruhan Mei 2017Selain itu, Sammy mengatakan bahwa bukti keberhasilan
gross split ini nantinya juga bisa terlihat di dalam lelang Wilayah Kerja (WK) migas bulan Mei mendatang. Jika sistem ini gagal menarik investor, ia yakin pemerintah akan membuka diri dengan masukan lain dari dunia usaha.
"
Time will tell. Nantinya bisa dilihat ketika penawaran WK migas baru di bulan Mei, apakah akan menggembirakan atau tidak," jelas Sammy.
Sebagai informasi, pemerintah akhirnya mengubah rezim PSC
cost recovery menjadi
gross split yang tercantum di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017.
Gross split sendiri adalah skema bagi hasil produksi migas, di mana
split antara pemerintah dan KKKS dilakukan tepat setelah produksi migas bruto dihasilkan.
Sistem ini berbeda dengan PSC
cost recovery, di mana
split antara pemerintah dan KKKS akan dilakukan setelah produksi bruto dikurangi produksi tertentu dari sebuah blok migas (First Tranche Petroleum/FTP) dan pemulihan biaya produksi migas yang dikeluarkan KKKS (
cost recovery).
Di dalam beleid tersebut, pemerintah menetapkan
split dasar bagi produksi minyak sebesar 57 persen bagi pemerintah dan 43 persen bagi KKKS. Sementara itu,
split dasar bagi produksi gas terbilang 52 persen bagi negara dan 48 persen bagi KKKS.
(gen)