Pemerintah Diminta Lupakan TPP, Fokus Kerja Sama Bilateral

Yuli Yanna Fauzie | CNN Indonesia
Minggu, 22 Jan 2017 20:55 WIB
Kerja sama ekonomi secara bilateral dan multilateral dinilai lebih menguntungkan Indonesia ketimbang kerja sama multilateral seperti Kemitraan Trans-Pasifik.
Pemerintah Indonesia disarankan lebih mengutamakan kerja sama perdagangan secara bilateral dan regional ketimbang kerja sama multilateral. (REUTERS/Jorge Silva)
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai hubungan kerja sama bilateral dan kawasan atau regional jauh lebih menguntungkan dan berpotensi mengerek nilai perdagangan Indonesia dibandingkan kerja sama multilateral, seperti Perjanjian Kemitraan Trans Pasifik (Trans Pacific Partnership/TPP).

“Bilateral dan regional jauh lebih aman, pemerintah bisa membuat kesepakatan yang lebih menguntungkan dengan negosiasi yang tak terlalu umum aturannya terhadap mitra dagang,” kata pengamat ekonomi Indef Ahmad Heri Firdaus kepada CNNIndonesia.com, Minggu (22/1)

Heri menilai TPP hanya akan membuat Indonesia terjegal banyak hambatan non-tarif yang diberlakukan negara-negara lain yang tergabung dalam TPP. Pasalnya, beberapa negara menerapkan banyak hambatan non-tarif.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebaliknya, kata Heri, hubungan bilateral dan regional memiliki aturan yang lebih leluasa dan dapat dinegosiasikan lebih baik oleh pemerintah Indonesia kepada negara bersangkutan.

“Seperti Indonesia dengan Australia, kedua negara sudah saling tahu apa saja potensi dan bagaimana kualitas produk masing-masing negara. Ini harus dilanjutkan,” ucapnya.

Adapun saat ini, Indonesia tengah merampungkan kesepakatan dengan Negeri Kangguru dalam kerja sama Indonesia-Australia Comprehensive Economic Partnership Agreement (IA-CEPA).

Dalam IA-CEPA, kedua negara sepakat bekerjasama di bidang perdagangan, jasa, industri, dan investasi serta pengembangan sumber daya manusia.

Sebelum IA-CEPA berlangsung, tercatat kerja sama Indonesia-Australia menorehkan kinerja yang baik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor non-migas Indonesia ke Australia mencapai US$2,66 juta sepanjang tahun 2016.

Kemudian, Australia juga menyumbang banyak wisatawan ke Indonesia, yakni mencapai 1,2 juta kunjungan sepanjang tahun 2016.

Sementara berdasarkan catatan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), nilai investasi dari Australia ke Indonesia mencapai US$32,84 juta sepanjang Januari-September 2016 lalu yang diberikan melalui 154 proyek.

Selain IA-CEPA, lanjut Heri, Indonesia juga memiliki peluang kerja sama bilateral dari Indonesia European Union Comprehensive Economic Partnership (IEU-CEPA) yang akan rampung pada 2018 mendatang.

Sedangkan untuk hubungan kerja sama regional, Heri menyebut, Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) mampu menjadi alternatif untuk peningkatan volume dan nilai perdagangan Indonesia di tahun ini.

RCEP terdiri dari sepuluh negara di kawasan Asia Tenggara (ASEAN) dan enam negara di luar ASEAN, yakni Selandia Baru, Australia, India, China, Korea Selatan, dan Jepang.

“ASEAN dan enam negara tersebut lebih aman dan menguntungkan bagi Indonesia. Namun, perlu diperhatikan produk ekspor yang lebih berkualitas untuk dijual agar Indonesia tidak menjadi negara pasar mereka saja,” kata Heri.

Berdasarkan catatan Kementerian Perdagangan (Kemendag), kekuatan ekonomi 10 negara ASEAN saat ini menyumbang sekitar lima persen atau sekitar US$2,6 triliun dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dunia.

Pada RCEP, kekuatan 10 negara ASEAN ditambah enam negara lainnya menyedot kekuatan ekonomi hingga 30 persen atau sekitar US$21,6 triliun dari PDB dunia.

Kemendag juga mencatat, sampai tahun lalu, sekitar 60 persen ekspor Indonesia memang menuju 10 negara ASEAN dan enam negara mitra dagang dalam RCEP.

Indonesia baru saja menjadi tuan rumah untuk perundingan RCEP pada Desember 2016 lalu. Adapun perundingan RCEP akan berlanjut pada Februari hingga Maret mendatang di Kobe, Jepang. (wis/gil)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER