Jakarta, CNN Indonesia -- Pengakuan manajemen PT PLN (Persero) bahwa ada masalah suplai gas dan kelayakan pendanaan bank (
bankability) untuk proyek Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa 1, semakin menunjukkan inkonsistensi perseroan dalam menggelar tender.
Pengamat Hukum Sumber Daya Alam Ahmad Redi menyatakan bahwa pengakuan dari PLN itu penting, karena hal tersebut menunjukkan memang ada masalah dalam proses negosiasi antara PLN dengan konsorsium peserta tender proyek berkapasitas 2 x 800 Megawatt (MW).
“Ketika tiba-tiba di tengah jalan PLN mengemukakan ada persoalan dalam masalah
bankability, tentu timbul pertanyaan mengenai profesionalitas tender tersebut,” ujar Redi, dikutip Senin (23/1).
Pengajar Universitas Tarumanegara, Jakarta menilai masalah hitungan pasokan gas dan juga
bankability seharusnya membuat manajemen PLN bersedia menegosiasikan ulang kondisi tersebut dengan pemenang tender yaitu konsorsium PT Pertamina (Persero) - Marubeni Corporation - Sojitz Corporation.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Jangan tiba-tiba memaksakan keinginan sepihak seperti melakukan lelang ulang,” katanya.
Pekan lalu, Kepala Satuan Komunikasi Korporat PLN I Made Suprateka menyatakan apabila Pertamina - Marubeni - Sojitz tidak juga meneken perjanjian jual beli listrik (
power purchase agreement/PPA) PLTGU Jawa 1 yang dimenangkannya sampai Senin (23/1) ini, maka PLN akan melakukan tender ulang proyek tersebut.
“Atau diberikan kepada pemenang kedua,” kata Made tanpa menyebut konsorsium mana yang menjadi juara harapan pertama, jika pemenang tidak menyetujui negosiasi PPA.
Selain konsorsium Pertamina, tender proyek yang diperkirakan bernilai US$2 miliar juga diminati oleh konsorsium PT Adaro Energi Tbk - Sembcorp, konsorsium Mitsubishi Corporation - JERA - PT Rukun Raharja Tbk - PT Pembangkitan Jawa Bali (PJB), serta konsorsium PT Medco Power Generation Indonesia - Nebras Power - Korea Electric Power Corporation.
Dalam proses tender tersebut, PLN menetapkan pasokan gas alam cair (
liquefied natural gas/LNG) untuk PLTGU Jawa 1 dari lapangan Tangguh dengan desain kapasitas kapal yang dapat diterima oleh floating storage and regasification unit (FSRU) atau terminal terapung penerima dan regasifikasi dengan kapasitas kapal 125 ribu-155 ribu m3.
Padahal dalam 5 tahun ke depan, kapal-kapal LNG milik Tangguh sudah diganti dengan kapal kapasitas 170 ribu m3.
Kondisi tersebut mengharuskan pemenang tender memodifikasi FSRU-nya agar sesuai dengan permintaan PLN. Sehingga pada akhirnya berujung pada isu
bankability.
Redi melihat, harus sudah ada kesepakatan sejak awal proses negosiasi pembuatan perjanjian jual-beli listrik. Pasalnya klausul dalam PPA akan mengikat jika kedua belah pihak telah bersepakat.
“PPA ini kan bagian dari rezim kontrak, yang hanya bisa batal demi hukum dengan dua syarat kondisi,” katanya.
Pertama, pihak-pihak yang terlibat bersepakat untuk mengubah atau membatalkannya secara keseluruhan.
Kedua, dibatalkan oleh pengadilan.
Jumat (20/1) pekan lalu, Direktur Pengadaan PLN, Supangkat Iwan Santoso mengakui sedikitnya ada delapan masalah yang menyebabkan belum tercapainya penandatanganan kontrak jual-beli listrik dengan konsorsium Pertamina.
Dua diantaranya disebutkan Iwan, terkait dengan pasokan gas dan
bankability.
“
Bankability menjadi perhatian kami sejak awal. Karena kalau tidak
bankable, maka sulit mendapat pendanaan dari bank. Sementara pasokan gas kita yang akomodasi,” jelas Iwan.
Sayangnya, Iwan menutup pintu negosiasi bagi konsorsium Pertamina atas pembahasan PPA.
Melihat kondisi tersebut, Redi melihat ada kemungkinan penandatanganan PPA PLTGU Jawa 1 ini bisa tertunda.
“Ini sebetulnya sangat disayangkan, ketika proyek ini siap untuk dieksekusi, tiba-tiba terhambat karena negosiasi PPA yang alot. Padahal PLTGU Jawa 1 adalah bagian dari megaproyek 35 ribu MW yang dicanangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi),” kata Redi.
(gen)