Jalan Panjang Sri Mulyani Memajaki Tanah Menganggur

CNN Indonesia
Minggu, 05 Feb 2017 17:03 WIB
Bendahara negara setidaknya harus mengubah tiga Undang-Undang, dan menghadapi risiko harga tanah yang semakin tinggi jika jadi memungut pajak tersebut.
Bendahara negara setidaknya harus mengubah tiga Undang-Undang, dan menghadapi risiko harga tanah yang semakin tinggi jika jadi memungut pajak tersebut. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta, CNN Indonesia -- Rencana pemerintah memungut pajak tanah menganggur untuk memangkas praktik calo yang membuat harga tanah melambung tampaknya harus melalui jalan panjang. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai bendahara negara setidaknya harus mengubah tiga Undang-Undang (UU), dan menghadapi risiko harga tanah yang semakin tinggi jika jadi memungut pajak tersebut.

Direktur Potensi, Kepatuhan dan Penerimaan Pajak Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kemenkeu Yon Arsal mencatat, tiga UU yang harus diamandemen adalah UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria serta dua UU Perpajakan lainnya terkait Pajak Penghasilan (PPh) dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Menurut Yon, pemerintah bisa saja mengenakan pajak progresif atas tanah menganggur menggunakan instrumen PBB, BPHTB, dan PPh Final.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Kalau kita lihat dari segi teori dan alternatif ya bisa PBB bisa BPHTB, bisa PPh final. Tapi kan masing-masing punya aturan sendiri-sendiri kalau pemerintah mau pakai instrumen yang sekarang," kata Yon di Kementerian Keuangan, dikutip Minggu (5/2).

Namun, Yon mengaku DJP akan menyerahkan mekanisme pengubahan UU dan persiapan payung hukum pungutan pajak tersebut kepada Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu.

“Alternatifnya adalah dengan merevisi UU perpajakan atau membuat kebijakan baru mengenai pajak progresif tanah,” katanya.

Yon menyebut negara-negara lain sudah lebih dulu mengenakan pajak tanah menganggur melalui kebijakan idle land tax. Namun mengingat hal tersebut baru pertama kali dilakukan di Indonesia, artinya pemerintah harus menyiapkan UU baru atau menambah ketentuan dalam UU yang lama.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sendiri lebih memilih menyodorkan tiga alternatif kebijakan pajak baru untuk mengeksekusi wacana yang didengungkan Sofyan Djalil, Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) tersebut.

Menurut Darmin, sistem pajak jual-beli tanah yang berlaku saat ini cenderung memanjakan pengusaha padat modal.

Akibatnya, baik pembeli dan penjual mempunyai kecenderungan untuk memperendah nilai transaksi kena pajak dari tanah yang ditransaksikan.

Darmin menyebut kebijakan pertama adalah pajak progresif kepemilikan tanah. Artinya, semakin luas kepemilikan tanah suatu badan atau pribadi maka pajak yang akan dikenakan akan semakin tinggi.

Kebijakan kedua adalah pajak keuntungan modal (capital gain tax) yaitu pajak transaksi tanah akan dikenakan pada nilai tambah dan harga suatu tanah.

Ketiga, pajak aset yang dianggurkan (unutilized asset tax) atau pajak landbank.

“Pajak ini rencananya akan dikenakan pada peusahaan atau pribadi yang memiliki tanah secara luas tanpa memiliki perencanaan peruntukkan yang jelas,” kata Darmin usai menghadiri pertemuan dengan ekonom dan pemimpin redaksi media di kantornya, Rabu (2/2) lalu.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER