Jakarta, CNN Indonesia -- Enam bulan menjabat, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menutup tahun 2016 dengan catatan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,02 persen (year on year/yoy), lebih tinggi dari realisasi tahun sebelumnya, 4,88 persen.
Hal yang menarik, komponen konsumsi pemerintah yang seharusnya memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian, tahun lalu malah memberikan kontribusi negatif sebesar 0,01 persen.
Sesuai prediksi, keputusan Sri Mulyani untuk memangkas belanja negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (APBNP) 2017 sebesar Rp137,6 triliun berujung pada pertumbuhan negatif konsumsi pemerintah sebesar 0,15 persen. Padahal, pada tahun sebelumnya, konsumsi pemerintah masih bisa tumbuh 5,32 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak adil memang jika menilai enam bulan kinerja Sri Mulyani hanya dari capaiannya dalam mengendalikan peran konsumsi pemerintah sepanjang tahun lalu.
Perlu diingat, Sri Mulyani masuk saat pemerintah menghadapi risiko pembengkakan defisit yang bisa melampaui batas maksimal 3 persen. Hal itu buntut dari target penerimaan negara yang terlampau tinggi dan tidak realistis di tengah kondisi perekonomian yang ada.
Akibatnya, belum sebulan menjabat kembali sebagai Menteri Keuangan, Sri Mulyani pada Agustus lalu harus mengumumkan kebijakan tidak populer berupa pemangkasa anggaran. Sebuah kebijakan yang memaksa aparatur negara berhemat demi menjaga kredibilitas fiskal negara.
"Sri Mulyani masuk ketika sudah ada permasalahan dari sisi fiskal yang sudah terjadi
mismanagement. Mau tak mau dia yang harus menyelesaikan masalah yang ada," tutur Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics Muhammad Faisal kepada
CNNIndonesia.com, Senin (6/2) kemarin.
Meskipun keputusan tersebut bisa dipahami, Faisal menilai seharusnya laju ekonomi bisa lebih tinggi jika Sri Mulyani mendiversikan cara mengatasi risiko pelebaran defisit tersebut.
"Maksudnya, bukan hanya mengandalkan pemotongan anggaran. Kan bisa dengan kombinasi dengan cara lain misalnya menambah utang sementara dan kombinasi lainnya," jelasnya.
Selanjutnya, Faisal berharap Sri Mulyani bisa membawa perekonomian Indonesia melaju lebih kencang tahun ini. Salah satu sumber harapannya berasal dari fiskal yang lebih kredibel dan perbaikan manajemen pemerintahan.
"Tahun lalu kan hanya setengah jalan, di luar kontrol Bu Ani. Tapi tahun 2017 mestinya kan sudah dikontrol beliau. Artinya dari sisi penerimaan negara prediksinya sudah lebih baik dan dari sisi belanja bisa lebih tertib nantinya," jelasnya.
Sementara, ekonom Bank Permata Joshua Pardede menilai Sri Mulyani mampu mengembalikan kepercayaan pelaku pasar dan kredibilitas fiskal. Meskipun belanja dipangkas, kualitas dan pola penyerapan anggaran sudah menunjukkan perbaikan.
"Kalau kita lihat pola penyerapan anggaran tahun 2016 dibandingkan tahun 2015 sudah jauh lebih bagus dalam hal belanja rutin,belanja barang, dari bulan ke bulan meningkat," ujar Josua.
Peneliti Institute For Development Of Economics And Finance (INDEF) Eko Listianto menilai kinerja Sri Mulyani bersama kabinet masih tidak optimal berdasarkan capaian indikator fiskal.
"Menurut saya, titik keberasilan Sri Mulyani adalah dalam mencoba fiskal menjadi lebih kredibel dengan menekan defisit anggaran supaya tidak jebol," kata Eko.
Kekhawatiran untuk menjaga defisit tetap di bawah 3 persen membuat aparat terlalu berhati-hati dalam membelanjakan anggaran. Akibatnya, lanjut Eko, anggaran kementerian/lembaga tidak terserap optimal.
Di sisi lain, Eko juga menyorot belum optimalnya upaya pemerintah untuk mendorong investasi yang porsinya terbesar kedua setelah konsumsi.
Pertumbuhan investasi tahun lalu yang tercermin dari Pembentukan Modal Tetap Bruto, melambat dari 5,01 persen menjadi 4,48 persen. Hal ini kontradiktif dengan upaya pemerintah untuk mendorong mendorong laju pertumbuhan investasi melalui penerbitan 14 paket kebijakan. Karenanya, perlu ada pembenahan di tataran implementasi lapangan. Di tengah banyak silang pendapat, Sri Mulyani menilai capaian pertumbuhan ekonomi tahun lalu telah sesuai prediksi. Meskipun tumbuh negatif, konsumsi pemerintah tetap berperan sebagai stimulus dengan realisasi defisit anggaran terjaga di level 2,46 persen dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
Konsumsi rumah tangga, sumber pertumbuhan ekonomi utama dengan porsi mencapai 56,5 persen, pertumbuhannya sepanjang tahun lalu tetap terjaga karena daya beli dan inflasi yang terjaga. Sepanjang tahun lalu, pemerintah berhasil meningkatkan laju pertumbuhannya menjadi 5,01 persen, atau lebih tinggi dari tahun 2015 yang hanya sebesar 4,96 persen.
"Meski pada kuartal tiga dan empat lalu pemerintah harus melakukan beberapa pemotongan anggaran, namun secara keseluruhan pada 2016, dengan defisit 2,46 persen, [belanja pemerintah] itu masih merupakan faktor positif dari sisi perekonomian," tutur Sri Mulyani.
Namun Sri Mulyani mengakui, dari sisi investasi, pemerintah masih perlu berupaya keras untuk mempercepat laju pertumbuhannya.
Dari sisi perdagangan internasional, pertumbuhan ekspor sudah mulai positif sejak kuartal keempat tahun lalu. Diharapkan, perkembangannya akan terus positif dan tidak akan terganggu dari perkembangan politik negara lain, terutama Amerika Serikat, China, dan negara-negara di Uni Eropa.
Ke depan, kata Sri Mulyani, pemerintah akan fokus untuk menciptakan motor penggerak ekonomi yang lebih seimbang. Artinya, tidak hanya bertumpu pada konsumsi rumah tangga tetapi juga pada faktor lain seperti investasi, konsumsi pemerintah, dan perdagangan internasional.
"Kita butuh investasi tumbuh lebih tinggi untuk pertumbuhan di atas 5 persen dan kita berharap ekspor tidak mengalami gangguan dari ekonomi global," jelasnya.