Jakarta, CNN Indonesia -- Keinginan pemerintah agar PT Adhi Karya (Persero) Tbk tak hanya menjadi kontraktor untuk proyek
Light Rail Transit (LRT) tetapi juga menjadi investor, secara tidak langsung memaksa Adhi Karya untuk memutar otak mencari modal di tengah kondisi keuangannya yang terbilang negatif.
Berdasarkan laporan keuangan terakhir perusahaan pada kuartal III 2016 lalu, pendapatan Adhi Karya memang berhasil tumbuh 5,13 persen menjadi Rp5,69 triliun dari periode yang sama tahun 2015 sebesar Rp5,41 triliun. Tetapi laba bersih perusahaan berkode saham ADHI justru turun hingga 16,06 persen dari sebelumnya Rp137 miliar menjadi Rp115 miliar.
Perolehan ini terbilang paling kecil jika dibandingkan dengan perusahaan konstruksi lainnya, seperti PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), dan PT PP (Persero) Tbk (PTPP). Ketiga perusahaan tersebut berhasil mencetak pertumbuhan, baik dari segi pendapatan dan laba bersih. Waskita Karya memimpin kinerja keuangan dengan pertumbuhan pendapatan hingga 88,72 persen dan laba bersih mencapai 133,5 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dengan begitu, bisa dikatakan permintaan pemerintah agar Adhi Karya mendanai pula proyek LRT membuat perusahaan pelat merah itu terbebani.
Tetapi kalau dilihat dari kacamata positif, boleh jadi instruksi pemerintah tersebut membuka kesempatan Adhi Karya melakukan transformasi dalam bisnisnya. Dari yang selama ini hanya menjadi kontraktor, kemudian menjadi investor dalam sebuah proyek. Plus, operator dari proyek yang dibangunnya sendiri bekerja sama dengan PT Kereta Api Indonesia (Persero).
Sebenarnya bukan hal yang baru untuk sebuah perusahaan konstruksi, tetapi juga investor dalam proyek yang tengah dibangunnya. Hal ini sudah terjadi pada Waskita Karya beberapa tahun belakangan ini.
Waskita Karya turut menjadi investor untuk beberapa ruas jalan tol untuk proyek yang digenggamnya. Terbukti, sikap agresif Waskita Karya ini membuahkan hasil dengan pertumbuhan laba bersih yang cukup signifikan.
“Jujur ini rintangan bagi Adhi Karya, tapi ini saatnya Adhi Karya menata kembali bisnisnya. Menciptakan bisnis model baru,” ungkap Managing Director Lembaga Management Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Toto Pranoto kepada CNNIndonesia.com, Jumat (12/2).
Toto menuturkan, manajemen Adhi Karya tidak perlu merasa terbebani dengan penugasan pemerintah tersebut. Bahkan, ia melihat hal tersebut sebagai kesempatan untuk menggandeng lebih banyak pelaku usaha untuk bergabung dalam pekerjaan LRT.
“Adhi Karya kan bisa jadi investor yang memimpin konsorsium, misalnya,” kata Toto.
Direktur Utama Waskita Karya M. Choliq menuturkan, perusahaannya telah melakukan transformasi bisnis sejak tiga tahun lalu atau tepatnya 2014 lalu dalam beberapa proyek pembangunan jalan tol.
Namun, tentu Waskita tak menanamkan modal 100 persen dalam proyek jalan tol yang dibangunnya. Perusahaan tersebut menjalin kerja sama dengan perusahaan lain, baik swasta maupun perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) lainnya.
Misalnya saja, Waskita akan bekerja sama dengan operator jalan tol PT Jasa Marga (Persero) Tbk (JSMR). Jika kerja sama dengan Jasa Marga, maka Waskita akan bertindak sebagai investor minoritas. Namun, jika dengan perusahaan swasta maka Waskita akan menjadi investor mayoritas atau setidaknya 60 persen.
"Dengan menjadi investor pasar Waskita jauh lebih besar karena jika sebagai investor kan berarti Waskita jadi kontraktornya juga, jadi seperti proyek Waskita sendiri," tutur Choliq.
Lebih lanjut Choliq menjelaskan, kini Waskita lebih banyak berperan sebagai investor dalam segala proyeknya. Hampir 80 persen dari semua proyeknya, Waskita menanamkan modal di sana, sedangkan sisanya atau 20 persen merupakan hasil tender dan murni menjadi kontraktor. Dengan model bisnis seperti ini, ia bercita-cita dapat menumbuhkan aset perusahaan hingga Rp90 triliun pada tahun ini.
"Nah untuk 2018 mudah-mudahan bisa sampai Rp100 triliun lebih," imbuh Choliq. Kembali pada Adhi Karya, jika berpikir realistis, jumlah kas Adhi Karya yang hanya sebesar Rp3,56 triliun per September 2016 memang tidak mungkin cukup untuk mendanai proyek LRT yang senilai Rp23 triliun.
Namun, analis senior Binaartha Securities Reza Priyambada menyebut, dengan jumlah utang Adhi Karya Rp13,26 triliun, maka rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) Adhi Karya masih berada di level 2,6 kali.
Level tersebut terbilang paling kecil jika dibandingkan dengan posisi DER perusahaan konstruksi lainnya, Di mana DER Waskita Karya 3,3 kali, Wijaya Karya 3,5 kali, dan PTPP 3,4 kali. Sehingga, paling tidak Adhi Karya bisa menaikan level rasio utangnya di level 3 kali.
Jika Adhi Karya berani menaikkan rasio utangnya hingga 3 kali, maka perusahaan memiliki kesempatan untuk menambah jumlah utangnya menjadi Rp15 triliun. Sehingga, akan ada tambahan Rp1,74 triliun. Dengan demikian, perusahaan bisa berutang pada bank atau mengeluarkan obligasi.
Bahkan, Direktur Keuangan Adhi Karya Harris Gunawan berani memastikan rasio utang Adhi Karya hingga akhir 2016 masih sekitar 0,9 kali. Menurutnya, DER dihitung bukan dari keseluruhan jumlah utang, melainkan hanya dari utang bank, utang obligasi, dan utang sukuk.
"Jadi level DER kami masih sangat kecil, artinya kami masih punya ruang cukup besar untuk mengajukan utang. Kalau diitung dari total utang itu tidak fair," katanya.
Sejalan dengan itu, Toto berpendapat perusahaan dapat memberikan modal untuk proyek LRT secara perlahan sembari mencari investor lain untuk menjadi rekannya membangun LRT. Selain itu, Adhi Karya juga bisa meminta bantuan dari PT Sarana Multi Infrastruktur (PT SMI) untuk mendapatkan pembiayaan.
“Jadi, dia juga bisa sinergi dengan perusahaan pelat merah lainnya, atau lembaga penjaminan infrastruktur, lalu menerbitkan obligasi, atau undang investor asing,” jelas Toto.
Namun demikian, jika nantinya Adhi Karya menggunakan skema dengan menggandeng investor asing, perlu diperhatikan juga tarif LRT yang akan diberikan kepada penumpang. Dalam hal ini, Adhi Karya perlu memastikan pihak mana yang boleh menentukan tarif tersebut, misalnya saja apakah porsi keputusan penentuan itu akan lebih banyak ditentukan oleh pemerintah atau investor. Dengan kepastian ini, maka akan lebih menarik bagi investor asing.