'Diseret' Jonan Soal Freeport, Sri Mulyani Ogah Buru-buru

CNN Indonesia
Senin, 13 Feb 2017 18:49 WIB
Sri Mulyani masih membutuhkan waktu untuk meracik ramuan fiskal yang hendak diberlakukan kepada Freeport karena menyangkut banyak dimensi.
Sri Mulyani masih membutuhkan waktu untuk meracik ramuan fiskal yang hendak diberlakukan kepada Freeport karena menyangkut banyak dimensi. (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Jakarta, CNN Indonesia -- Bola panas penerbitan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang resmi diberikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) kepada PT Freeport Indonesia pada pekan lalu, kini menggelinding ke kantor Kementerian Keuangan.

Perusahaan tambang Amerika Serikat tersebut memang telah mengajukan diri agar statusnya berubah dari Kontrak Kerja (KK) ke IUPK. Namun, Freeport rupanya kembali mencari peruntungan dengan mendesak pemerintah agar kepastian fiskal tetap mengikuti ketentuan kontrak sebelumnya atau nail down, bukan seperti ketentuan perpajakan yang berlaku atau prevailing.

Dengan desakan Freeport ini, Menteri ESDM Ignasius Jonan rupanya tak ingin ambil pusing lagi mengurus 'tetek bengek' perhitungan fiskal untuk Freeport. Ia langsung menyeret Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati untuk memberi bala bantuan perhitungan ketentuan fiskal tersebut.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Nanti biar Menteri Keuangan lihat mana yang bisa menganut ketentuan yang lama dan yang tidak. Ini dominannya domain seperti Peraturan Daerah (Perda) Pungutan," kata Jonan di Kompleks Istana Kepresidenan, Senin pagi (13/2).

Sementara itu, Sri Mulyani rupanya masih membutuhkan waktu untuk meracik ramuan fiskal yang hendak diberlakukan kepada Freeport. Pasalnya, menurut Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu, bola panas di kaki-nya, bukan sekedar urusan perpajakan saja.

"Sebetulnya, persoalannya tidak hanya pada masalah pajak saja. Kontrak dengan Freeport menyangkut banyak dimensi," ujar Sri Mulyani di kantornya.

Setidaknya ada tiga sisi yang perlu dipikirkan dengan matang oleh Sri Mulyani. Pertama, pemerintah harus tegas menjalankan aturan yang telah dibuat, yakni resmi mengajukan ketentuan perubahan KK ke IUPK sesuai dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

Kedua, aturan yang telah dibuat perlu pula dikaji dengan perhitungan yang menguntungkan, terutama kepada penerimaan negara sehingga aturan yang diberlakukan pemerintah tetap mencerminkan potensi peningkatan penerimaan negara.

"Dalam UU Minerba, sudah diamanatkan bahwa apapun bentuknya, kerja sama pemerintah denga para pengusaha maka penerimaan pemerintah harus dijamin lebih baik dan ini yang sedang kita bicarakan. Di satu sisi, membela kepentingan Republik Indonesia, baik dari sisi penerimaan dan di sisi lain, kewajiban mereka untuk melakukan diverstasi serta dari kewajiban mereka untuk bangun smelter," jelas Sri Mulyani.

Ketiga, pemerintah wajib pula memberikan kepastian hukum dan usaha kepada para pelaku ekonomi di Tanah Air. Ia bilang, pemerintah tahu betul kalau pengusaha sangat perlu memperoleh kepastian untuk memetakan rencana bisnis ke depan dan tak hanya dibutuhkan oleh perusahaan, namun juga kepada rekanan bisnis pengusaha.

Dari tiga poin tersebut, Sri Mulyani masih perlu 'extra time' lagi untuk membuka kembali lembar kinerja pendapatan pemerintah dari Freeport. Yakni, perbandingan penerimaan dari Freeport saat masih berstatus KK dengan penerimaan bila perusahaan berstatus IUPK.

Sayangnya, pernyataan Sri Mulyani ini belum memberi kepastian perhitungan fiskal seperti apa yang telah khusus diramu pemerintah untuk menjawab tekanan Freeport.

"Dimensinya banyak sekali yang tadi saya sampaikan," tutupnya.

Seperti diketahui, sesuai Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 6 Tahun 2016, turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, pemerintah baru memberi izin kepada perusahaan tambang untuk melakukan ekspor bila telah mengubah status dari KK ke IUPK.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER