Kakanwil Jakarta Khusus Klarifikasi Terkait Kasus Suap Pajak

Safyra Primadhyta | CNN Indonesia
Sabtu, 18 Feb 2017 06:04 WIB
Sebagai Kepala Kanwil, menurut Haniv, pertemuannya dengan Rajamohanan tidak menyalahi aturan dan tidak ada perlakuan khusus yang diberikan.
Sebagai Kepala Kanwil, menurut Haniv, pertemuannya dengan Rajamohanan tidak menyalahi aturan dan tidak ada perlakuan khusus yang diberikan. (CNN Indonesia/Safyra Primadhyta).
Jakarta, CNN Indonesia -- Kepala Kantor Wilayah (Kantor) Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Jakarta Khusus Muhammad Haniv memberikan klarifikasi atas dugaan keterlibatannya dalam kasus suap pajak yang menyeret Kasubdit Bukti Permulaan Direktorat Penegakan Hukum DJP Handang Soekarno.

Nama Haniv disebut dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dibacakan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Senin (13/2) lalu. Dakwaan itu ditujukan kepada Ramapanicker Rajamohanan Nair, Country Director PT EK Prima Ekspor Indonesia (EKP),perusahaan yang terkait dengan kasus korupsi yang menjerat Handang.

Dalam surat dakwaan tersebut, Haniv disebut memberikan saran kepada Rajamohanan untuk mengajukan permohonan pembatalan Surat Tagihan Pajak (STP) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kepada DJP melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing (PMA) Enam Soniman Budi Raharjo.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dalam STP pada September 2016, PT EKP memiliki tunggakan pajak masing-masing mencapai Rp52,36 miliar pada Desember 2014 dan Rp26,44 miliar pada Desember 2015.

"Saya tidak ingin ada pihak yang 'menggoreng-goreng' persoalan ini dengan membuat saya seolah-olah membantu menghilangkan pajak PT EKP," ujarnya saat dihubungi cnnindonesia.com, Jumat (17/2) malam.

Haniv mengakui, ia memang pernah bertemu dengan Rajamohanan untuk mendengarkan persoalan pajak di kantornya. Dalam pembicaraan tersebut disimpulkan bahwa ada prosedur yang dilanggar dalam penerbitan STP PT EKP oleh KPP PMA Enam.

Pertama, penerbitan STP terjadi secara kilat tanpa melalui prosedur yang seharusnya. Haniv bilang, PT EKP seharusnya menerima Surat Ketetapan Pajak (SKP) terlebih dahulu dan berhak memberikan klarifikasi atas informasi keuangan terkait perpajakannya.

Kedua, PPN atas transaksi pembelian kacang mete oleh PT EKP dari petani dibebankan kepada PT EKP. Padahal, kata Haniv, tanggungjawab renteng dalam PPN tidak berlaku, mengingat mitra dagang PT EKP bukan wajib pajak dan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

"Dengan dibatalkannya STP tidak berarti proses pemeriksaan berhenti, pemeriksaan masih terus jalan," katanya.

Sebagai Kepala Kanwil, menurut Haniv, pertemuannya dengan Rajamohanan tidak menyalahi aturan dan tidak ada perlakuan khusus yang diberikan. 

Haniv mengungkapkan, banyak wajib pajak badan (perusahaan) yang mengalami masalah serupa dengan PT EKP dan mengutus perwakilan perusahaan ke kantornya. Selama berbicara dengan wajib pajak, Haniv menekankan tidak ada pembicaraan yang mengarah pada upaya memperkaya kantong pribadi.

"Banyak perwakilan perusahaan yang mengantri di kantor saya, tidak hanya PT EKP,"  terang dia.

Setelah mengumpulkan berbagai informasi, Haniv menduga, kesalahan prosedur penerbitan STP karena fiskus ingin cepat menggali potensi pajak dari wajib pajak. Padahal, upaya penggalian potensi pajak harus dilakukan sesuai prosedur, sehingga tidak memberikan ruang untuk dimanfaatkan oleh oknum tertentu.

Jika STP diterbitkan tidak sesuai prosedur, wajib pajak berhak untuk tidak membayar pajak yang ditagihkan. Sayangnya, tidak semua masyarakat familiar dengan mekanisme penagihan pajak.

"Kalau prosedur STP-nya salah terus wajib pajak tetap bayar, semua jadi ikut salah," ucapnya.

Tak Ada Tatap Muka dengan Ipar Jokowi

Haniv juga membenarkan, ia membantu kenalannya, Arif Budi Sulistio untuk bertemu Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi. Ipar Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu meminta bantuannya melalui aplikasi pesan Whats App. Dalam dakwaan, Arif diduga sebagai pihak yang menjadi perantara Rajamohanan dengan Ken. 

"Tetapi, apa yang dibahas dalam pertemuan antara Arif, Handang, dan pak dirjen saya tidak tahu, karena saya tidak ikut sama sekali dalam pertemuan tersebut," tegasnya.

Menurut Haniv, pertemuan Ken dengan wajib pajak, termasuk dengan Arif, tidak melanggar ketentuan dan wajar terjadi. Pertemuan dengan pejabat pajak menjadi salah ketika ada kesepakatan yang melanggar ketentuan antara wajib pajak dengan pejabat pajak terkait.

Dalam perjalanannya, Haniv mendapatkan arahan dari Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi pada 4 Oktober 2016, untuk membatalkan Surat Pencabutan Pengukuhan Perusahaan Kena Pajak (PKP) PT EKP yang dikeluarkan oleh KPP PMA Enam sebelumnya.

Hal itu ditindaklanjuti PT EKP dengan  mengirimkan surat kepada KPP PMA Enam untuk membatalkan pencabutan pengukuhan PKP pada 5 Oktober 2016. Atas permohonan tersebut, KPP PMA Enam menerbitkan Surat Pembatalan Pencabutan Pengukuhan PKP PT EKP. Artinya, status PKP tetap melekat pada PT EKP.

Tak Terlibat Kesepakatan Suap

Lebih lanjut, Haniv juga menegaskan, ia tidak terlibat dalam kesepakatan suap antara Handang dengan Rajamohanan. Dalam dakwaan, Rajamohanan disebut merencanakan pertemuan dengan Handang pada 20 Oktober 2016 di Restoran Nippon di Hotel Sultan, Jakarta Pusat.

Rajamohanan menjanjikan pemberian uang 10 persen dari nilai STP PPN yakni Rp52,36 miliar yang akhirnya disepakati mencapai Rp6 miliar, termasuk untuk Muhammad Haniv.

"Keluar angka Rp6 miliar itu dari mana saya juga tidak tahu. Itu antara Handang dengan PT EKP," kata Haniv.

Sebagai informasi, Handang dan Rajamohaman tertangkap saat bertransaksi suap dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 21 November 2016 lalu. JPU mendakwa Rajamohanan memberikan uang tunai sebesar US$148,5 ribu atau sekitar Rp1,99 miliar dari yang dijanjikan kepada Handang.

Dalam pengusutan kasus tersebut, KPK telah memeriksa Ken dan Haniv sebagai saksi. (bir)
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER