Menurut GSPF, medan tambang Papua tidak mudah ditaklukkan. Perusahaan yang mengelolanya harus memiliki modal besar serta teknologi yang mumpuni. (CNN Indonesia/Safyra Primadhyta).
Jakarta, CNN Indonesia -- Solidaritas pekerja PT Freeport Indonesia yang tergabung dalam Gerakan Solidaritas Peduli Freeport (GSPF) mengaku tak yakin bahwa perusahaan pelat merah mampu mengelola tambang milik Freeport di Papua.
Sekadar mengingatkan, sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017, pemerintah menetapkan kewajiban divestasi perusahaan tambang asing mencapai 51 persen, baik yang terintegrasi dengan fasilitas pemurnian mineral (smelter) di dalam negeri maupun tambang bawah tanah (underground).
Rencananya, pemerintah akan mengakuisisi kepemilikan saham Freeport melalui holding tambang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru akan dibentuk. Holding itu terdiri dari PT Timah, PT Bukit Asam, PT Aneka Tambang, dan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) yang juga berperan sebagai pemimpin holding.
"Tolong kasih contoh saya, perusahaan BUMN apa yang negara punya, yang bisa membuat masyarakatnya makmur? Apa? Tidak ada," ujar perwakilan GSPF Virgo Salosa usai bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Panjaitan di Gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) 1, Kamis (9/3).
Virgo mengungkapkan, medan tambang Papua tidak mudah untuk ditaklukkan. Perusahaan yang mengelolanya harus memiliki modal besar serta teknologi yang mumpuni.
Selain itu, Freeport juga ambil andil dalam memajukan perekonomian di Papua. Hal itu dilakukan dengan merekrut, memberikan keahlian sebagai tenaga kerja bagi warga lokal.Bertha Juliano Ibo, salah satu pekerja Freeport menuturkan, Freeport Indonesia telah memberikan banyak manfaat bagi karyawannya dari mulai materiil hingga non-materiil.
"Dari sisi penghasilan, kami jauh di atas rata-rata Upah Minimal Regional (UMR), jaminan sosial kami dapat 100 persen. Dari mulai kami bekerja sampai kami meninggal," katanya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tak hanya itu, Bertha juga melihat pemerintah kesulitan untuk memberikan akses pendidikan dan kesehatan bagi warga yang tinggal di daerah yang sulit dijangkau. Sementara, Freeport mampu memberikan akses tersebut.
"Jadi, omong kosong kalau pemerintah bisa menanggulangi ini sebagai perusahaan yang dikatakan perusahaan asing yang sudah menggerogoti," terang Bertha.
Bertha berharap, pemerintah menghormati Kontrak Karya dan tidak terburu-buru mengambil alih pengelolaan Freeport. Ia juga mengharapkan, pemerintah dan Freeport bisa segera menyelesaikan polemik yang ada agar perusahaan mampu beroperasi normal dan menjalankan kegiatan ekspor tambang. Sehingga, pekerja bisa menghindari dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
Seperti diberitakan sebelumnya, Freeport McMoran Cooper & Gold Inc menyatakan bahwa perusahaan memberi waktu kepada pemerintah selama 120 hari untuk mempertimbangkan kembali poin-poin perbedaan antara pemerintah dan Freeport terkait pemberian izin rekomendasi ekspor berdasarkan ketentuan Kontrak Karya.
Waktu tersebut terhitung sejak pertemuan terakhir antara Freeport dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang berlangsung pada Jumat (17/2) lalu.
Menanggapi hal itu, Menteri ESDM Ignasius Jonan menyatakan, siap meladeni Freeport-McMoran dan anak usahanya apabila serius melenggang ke arbitrase untuk menyelesaikan hal ini.
Pemerintah sendiri memberikan waktu enam bulan bagi Freeport untuk menyesuaikan dengan ketentuan baru yang diatur dalam PP 1 2017, khususnya terkait ketentuan izin ekspor tambang yang tadinya berdasarkan KK menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).(bir)