Jakarta, CNN Indonesia -- Kondisi industri perbankan sepanjang tahun 2016 bisa dibilang tidak begitu cemerlang. Di tengah penyaluran kredit yang melambat, industri perbankan dalam negeri juga dihadapkan oleh membengkaknya rasio kredit macet (
non performing loan/NPL).
Situasi tersebut juga membuat bank ramai-ramai menyisihkan beban pencadangan untuk membersihkan kredit macet termasuk yang dilakukan oleh jajaran empat bank milik negara.
Namun, di balik kondisi yang kurang menguntungkan itu, porsi keuntungan dari laba (dividen) yang dibagikan bank BUMN kepada pemegang saham justru melambung tinggi. Termasuk yang disetor kepada pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kementerian BUMN selaku pemegang saham utama, mengerek jumlah besaran dividen dari laba bersih (
payout ratio) bank pelat merah pada tahun buku 2016 demi menambal Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017.
 Ilustrasi jumlah dividen bank BUMN. (CNN Indonesia/Laudy Gracivia) |
Dalam hal ini, laba bersih PT Bank Mandiri (Persero) Tbk digerogoti paling besar, 45 persen, naik dari 30 persen di tahun buku 2015. Kemudian, PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk harus merelakan 40 persen laba bersihnya untuk dibagikan, naik dari 30 persen.
Sementara, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk membagikan 35 persen laba, naik dari 25 persen. Terakhir, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk menebar 20 persen labanya untuk dividen, tak berubah dari tahun buku 2015.
Tercatat, dividen yang dibagikan empat bank pelat merah pada tahun buku 2016 lalu tercatat sebagai dividen dengan nominal yang paling besar sepanjang sejarah.
Jika dijumlah, maka empat bank pelat merah itu membagikan dividen dengan total Rp21,08 triliun. Dengan rincian Bank Mandiri Rp6,2 trilium BTN Rp522 miliar, BNI3,96 triliun serta BRI Rp10,4 triliun.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, menyedot dividen dari bank BUMN merupakan cara pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara yang diperkirakan seret pasca berlakunya
tax amnesty.
Pasalnya usai program
tax amnesty rampung, pemerintah masih harus dipusingkan untuk menambal defisit anggaran yang diperkirakan tidak akan cukup ditutup dari penerimaan program tersebut.
"Memang dividen ini masih dijadikan cara oleh pemerintah untuk meningkatkan penerimaan. Logikanya, kalau dilihat dari tahun lalu, NPL, likuiditas dan laba itu performanya kurang bagus, kalau mau jujur ya arah pemerintah ya seperti itu," ujar Bhima kepada
CNNIndonesia.com, Senin (20/3).
Sinyal pemerintah menggenjot dividen di tengah lesunya kinerja perseroan paling jelas terlihat di Bank Mandiri. Tahun lalu, bank dengan aset terbesar di Indonesia ini harus menelan penurunan laba bersih hingga 32,1 persen dari Rp20,3 triliun tahun 2015 menjadi Rp13,8 triliun tahun 2016.
Secara total angka rasio kredit bermasalah (NPL)
gross Bank Mandiri pada akhir tahun lalu menembus 4 persen, naik 1,4 persen jika dibandingkan dengan NPL tahun 2015 yang mencapai 2,5 persen. Meski dengan prestasi yang merosot itu, Bank Mandiri dengan berani menyisihkan 45 persen labanya untuk dibagi-bagi ke pemegang saham.
Sementara itu, BTN masih bisa sedikit 'melobi' pemerintah dengan hanya menyetorkan dividen 20 persen saja kepada pemegang saham. Menurut Direktur Utama BTN Maryono, hal ini karena BTN masih membutuhkan modal besar untuk mendongkrak penyaluran Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Maklum, BTN diberi mandat oleh pemerintah untuk membantu proyek pembanungan sejuta rumah.
Saat ini, rasio kecukupan modal (
Capital Adequacy Ratio/CAR) BTN berada di level 203 persen, apabila dipotong dengan dividen, rasio kecukupan modal CAR BTN turun ke level 19,7 persen. Namun dengan ekspansi kredit tahun ini, diperkirakan CAR BTN akan melorot lagi hingga level 17 persen.
"Jadi dengan dividen hanya 20 persen, BTN diberikan kemudahan untuk menambah modalnya," jelas Maryono. Bhima menjelaskan, bagi investor yang memahami seluk beluk emiten, semakin besar dividen yang dibagikan kepada pemegang saham, maka semakin kecil saldo laba yang ditahan oleh perseroan.
Padahal saldo laba ditahan tersebut sejatinya bisa digunakan sebagai modal perusahaan untuk ekspansi bisnis di tahun berikutnya.
"Jika ini memang benar dividen terbesar sepanjang sejarah, maka dalam teorinya kalau bank lebih memilih mengurangi laba ditahannya artinya untuk ekspansi tahun ini dan kedepannya akan berkurang. Artinya pertumbuhan bank akan stagnan di situ-situ aja," jelasnya.
Ia mengingatkan, pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas seharusnya bisa membawa bank BUMN tetap bertumbuh di situasi yang sulit ini. Salah satunya dengan cara mengurangi porsi setoran dividen yang bisa digunakan sebagai likuiditas tambahan untuk menyalurkan kredit.
"Yang jelas pemerintah harus juga diingatkan, bahwa investor publik itu ingin bank BUMN ingin berekspansi jangan hanya pikir jangka pendek dia harus berpikir jangka panjang, kurangi dividen dan perbanyak laba ditahan itu untuk mengekpansi bisnis supaya lebih agresif," jelasnya.