Jakarta, CNN Indonesia -- Kabar yang menyebutkan bahwa negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) mendukung penambahan waktu enam bulan bagi kebijakan pemangkasan produksi tampaknya tak cukup kuat menopang kenaikan harga minyak.
Buktinya, harga Brent yang sempat membaik sejenak, berubah arah melemah kembali usai kabar tersebut tersiar. Namun, mengutip Reuters, Selasa (21/3), pelaku pasar cenderung menahan optimisme harga karena persediaan minyak mentah AS terbilang menumpuk.
Data Baker Hughes menunjukkan, pengeboran minyak AS bertambah 14 dan mencapai 631 sumur pada pekan lalu. Ini merupakan jumlah tertinggi sejak September 2015.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Selain itu, pesimisme pelaku pasar sudah terlihat mulai pekan lalu, di mana 150 ribu kontrak penjualan minyak sudah dilepas kembali oleh investor.
Akibatnya, harga Brent turun US$0,14 per barel ke angka US$51,62 per barel. Sementara itu, harga West Texas Intermediate (WTI) menurun US$0,56 per barel ke angka US$48,22 per barel.
Peningkatan produksi AS dianggap menjadi penghambat keefektifan kebijakan OPEC dan produsen minyak lainnya. Ini pun terlihat dari riset J.P. Morgan yang ikut memangkas proyeksi harga minyak, di mana harga Brent tahun ini tercatat US$55,75 per barel dan tahun depan sebesar UD$55,50 per barel.
Tak hanya Brent, J.P. Morgan juga memangkas produksi harga WTI di angka US$53,75 tahun ini dan US$53,5 pada 2018 mendatang.