Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengaku telah menyurati Kementerian Keuangan ihwal kesanggupan holding BUMN pertambangan di dalam menyerap saham divestasi PT Freeport Indonesia.
Untuk itu, Kementerian BUMN berharap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Kemenkeu memberi kepastian ihwal penyerap saham divestasi tersebut.
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media, Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menjelaskan, surat tersebut juga telah direspons oleh Kemenkeu. Di dalam balasannya, Sri Mulyani menanyakan kembali kesanggupan BUMN tambang untuk mengambil saham Freeport.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Menkeu sudah menyurati kembali, ditanyakan bagaimana kesanggupannya. Menteri BUMN bilang bahwa kami sanggup," jelas Fajar, Rabu (22/3).
Kendati demikian, Kementerian BUMN mengatakan masih mengikuti ketentuan yang tercantum di dalam pasal 97 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017.
Aturan itu menyebut bahwa BUMN menjadi prioritas kedua penyerap saham divestasi Freeport setelah pemerintah pusat. Sehingga, ada kemungkinan BUMN tambang tidak jadi menyerap saham divestasi tersebut.
Meski begitu, Fajar mengatakan BUMN tetap harus bersiap-siap. Salah satu persiapan tersebut, lanjutnya, adalah membuat
holding demi mendongkrak kemampuan finansial BUMN pertambangan dalam membeli saham perusahaan asal Amerika Serikat tersebut.
"Kalau kami ditunjuk untuk laksanakan divestasi, yang perlu kami lakukan sekarang tentunya adalah konsolidasi secepatnya," jelasnya.
Mengingat pemerintah sudah menggenggam 9,36 persen saham Freeport, maka sesuai PP Nomor 1 tahun 2017, pemerintah tinggal mencari cara menyerap sisa 40,64 persen sisanya. "Namun, apakah langsung 51 persen atau bertahap, kami nanti akan bicarakan," tambah Fajar.
Pada tahun lalu, pemerintah sudah menagih Freeport divestasi sebesar 10,64 persen yang didasarkan pada PP Nomor 77 Tahun 2014. Dari perhitungan yang dilakukan Freeport, valuasi 100 persen sahamnya terhitung US$16,2 miliar, sehingga 10,64 persennya berada di angka US$ 1,7 miliar.
Angka itu didapat dengan memperhitungkan investasi yang telah digelontorkan perusahaan dan menggunakan asumsi bahwa operasional mereka diperpanjang hingga 2041 mendatang.
Namun, Kementerian ESDM keberatan dan meminta Freeport untuk melakukan valuasi ulang sesuai investasi yang telah dilakukan saja (
replacement cost).