CORE: Hasil Tax Amnesty Jauh dari Ekspektasi

CNN Indonesia
Senin, 03 Apr 2017 11:01 WIB
Dari sisi tingkat partisipasi, komitmen repatriasi aset luar negeri, dan dampak, program tax amnesty belum memberi hasil yang menggembirakan.
Dari sisi tingkat partisipasi, komitmen repatriasi aset luar negeri, dan dampak, program tax amnesty belum memberi hasil yang menggembirakan. (ANTARA FOTO/Atika Fauziyyah).
Jakarta, CNN Indonesia -- Center of Reform on Economics (CORE) menyebut pelaksanaan program amnesti pajak (tax amnesty) yang berakhir pada 31 Maret lalu, jauh dari ekspektasi. Ibarat pepatah, jauh panggang dari api.

"Meski, pemerintah mengklaim bahwa program pengampunan pajak ini paling berhasil di dunia, pencapaian program tersebut pada kenyataannya masih jauh di bawah target yang diharapkan," terang Direktur Eksekutif CORE Mohammad Faisal dalam keterangan resmi, Senin (3/4).

Faisal mengungkapkan, tolak ukur keberhasilan program yang berjalan selama sembilan bulan itu bisa dilihat dari tiga aspek, yakni tingkat partisipasi wajib pajak (WP), angka repatriasi, dan kontribusi terhadap penerimaan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dari sisi tingkat partisipasi, pencapaiannya masih rendah. Per 31 Maret 2017, jumlah WP yang mengikuti program pengampunan pajak hanya mencapai sekitar 956 ribu WP (data sementara). Jumlah ini terpaut jauh dibanding WP Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) yang sebanyak 20,1 juta dan WP yang memiliki NPWP, yaitu 32,7 juta.

Kemudian, dari sisi komitmen repatriasi aset luar negeri juga masih minim. Padahal, ia menilai, memulangkan aset WNI yang terparkir di luar negeri merupakan sasaran besar penyelenggaraan pengampunan pajak.

Lihat saja, hingga program berakhir, komitmen repatriasi hanya mencapai Rp 147 triliun atau sekitar tiga persen dari total komposisi harta yang dilaporkan yang sebesar Rp4.854,63 triliun (data sementara) atau 14,7 persen dari target Rp1.000 triliun.

Tak cuma itu, Faisal melanjutkan, perluasan WP dari kebijakan pengampunan pajak yang diharapkan dapat mendongkrak penerimaan pajak juga belum terlihat dampaknya selama kuartal pertama tahun ini.

"Indikasi ini terlihat dari realisasi penerimaan pajak sampai dengan 15 Maret 2017 yang baru mencapai Rp145 triliun. Alih-alih mengalami peningkatan, capaian ini bahkan lebih rendah dibandingkan dengan penerimaan pajak pada periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp176 triliun," imbuh dia.

Padahal, kalau ditelisik lebih jauh, potensi penerimaan pajak tahun ini seharusnya lebih tinggi dibanding tahun lalu. Pasalnya, selain karena perluasan basis pajak hasil dari kebijakan tax amnesty, prospek pertumbuhan ekonomi tahun ini juga diperkirakan lebih baik ketimbang tahun lalu.

Empat Usulan Dongkrak Penerimaan

Guna mendongkrak penerimaan perpajakan ke depan, Core mengusulkan beberapa langkah. Pertama, pemerintah harus melakukan reformasi mendasar terhadap regulasi perpajakan, dalam hal ini terkait penyederhanaan peraturan perpajakan yang dianggap rumit.

Namun, hal ini juga perlu ditunjang oleh penegakan hukum yang lebih baik terhadap WP yang mangkir membayar pajak. Otoritas pajak di Afrika Selatan, misalnya, tidak segan-segan menyita aset WP yang terindikasi melakukan penipuan dalam pelaporan pajak.

Kedua, pemerintah perlu lebih optimal menggali penerimaan pajak dari jenis-jenis pajak potensial. Misalnya, mengoptimalkan penerimaan pajak penghasilan (PPh) yang bisa sekaligus mengurangi ketimpangan pendapatan masyarakat.

Berdasarkan catatan CORE, penerimaan dari pajak penghasilan (PPh) pasal 25/29 orang pribadi, masih sangat rendah. Kontribusinya saat ini baru satu persen terhadap total penerimaan pajak.

Demikian pula rasio keseluruhan PPh terhadap PDB Indonesia yang hanya 0,94% juga masih yang terendah jika dibandingkan dengan beberapa negara-negara ASEAN lain. Rasio PPh terhadap PDB Vietnam mencapai 8,8%, Thailand (8,1%), dan Malaysia (2,3%).

Selain PPh, Faisal menuturkan, pemerintah juga dapat menggali potensi penerimaan pajak dari aktivitas pembangunan infrastruktur yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah.

Di antaranya, pengenaan PPh 22 barang impor bagi barang impor yang digunakan untuk membangun infrastruktur, pengenaan PPh pasal 23 untuk jasa konstruksi, termasuk pengenaan PPh 26 untuk proyek infrastruktur yang menggunakan jasa konsultan asing.

Ketiga, pemerintah harus memaksimalkan pengejaran atas WP yang belum melaporkan harta mereka yang disimpan di luar negeri lewat berbagai kerjasama bilateral maupun multilateral. Misalnya, kesepakatan Pertukaran Data Otomatis (AEoI) yang rencananya diimplementasikan Indonesia pada 2018 mendatang.

Terkait AEoI, karena kesepakatannya memiliki keterbatasan ruang lingkup, pemerintah perlu melakukan langkah-langkah kerja sama lainnya antar negara. Sebagai contoh, AEoI tidak mengakomodir informasi harta dalam bentuk emas, rumah. Informasi yang dapat dilaporkan hanya nilai simpanan uang di perbankan.

Keempat, dari sisi kelembagaan, pemerintah perlu mempertimbangkan memberikan kewenangan yang lebih besar kepada otoritas pengelola penerimaan negara melalui model otoritas penerimaan negara semi otonom atau Semi Autonomus Revenue Authority (SARA).

Dalam model ini, nantinya otoritas yang mengurus masalah penerimaan negara terpisah dari Kementerian Keuangan. Beberapa keuntungan dari model ini, antara lain agar otoritas yang mengurusi penerimaan negara bisa lebih fokus mengatur urusannya sebagaimana institusi bisnis yang profesional, mengurangi intervensi politik, dan memperkuat transparansi proses pengawasan.

"Dengan demikian, kinerja lembaga ini menjadi lebih efisien, baik dari sisi pengelolaan sumber daya manusia, penggunaan anggaran, peningkatan layanan perpajakan, perbaikan basis data dan pencatatan pajak WP, hingga peningkatan transparansi," imbuhnya.

Adapun, beberapa negara yang cukup sukses meningkatkan penerimaan pajaknya secara signifikan setelah mengadopsi model ini, antara lain Peru pada 1988 dan Afrika Selatan pada 1997.

Rasio pajak kedua negara tersebut meningkat signifikan setelah mengadopsi model tersebut. Rasio pajak Afrika Selatan meningkat dari di bawah 24 persen menjadi 28 persen, sementara rasio pajak Peru meningkat dari di bawah 10 persen menjadi 17 persen.

Sementara, rasio pajak Indonesia selama hampir dua puluh tahun terakhir hanya ada di kisaran 10 -12 persen, bahkan lebih rendah dibanding masa orde baru yang rata-rata di atas 15 persen.

"Namun demikian, tanpa diiringi dengan komitmen dari pemerintah yang disertai dengan perencanaan yang matang, pembentukan SARA tidak akan efektif dalam memperbaiki kinerja pemerintah di sektor perpajakan," pungkasnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER