Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berjanji akan terus berupaya agar tarif listrik tidak naik setiap tiga bulan sekali.
Jika tarif listrik terus meningkat, maka pemerintah khawatir golongan masyarakat yang belum bisa menikmati listrik akan tetap jauh dari akses ketenagalistrikan.
Menteri ESDM Ignasius Jonan menjelaskan, saat ini masih terdapat 2.519 desa yang belum teraliri listrik. Jika tarif listrik terus naik setiap tiga bulan, maka ia khawatir jumlah tersebut tidak akan pernah berubah mengingat daya beli masyarakat pedesaan tidak sebesar wilayah lainnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Pemerintah tetap berusaha agar harga listrik tidak naik setiap kuartalnya. Kalau tarifnya naik, maka masyarakat yang tidak bisa menikmati listrik akan tetap tidak bisa menikmati listrik," jelas Jonan, Rabu (5/4).
Pada 2019 mendatang, pemerintah menargetkan rasio elektrifikasi sebesar 97 persen. Target tersebut menurut Jonan, tidak akan bisa tercapai jika tarif listrik terus naik setiap tiga bulan sekali.
Adapun pada akhir tahun lalu, rasio elektrifikasi Indonesia tercatat baru mencapai 91,16 persen dengan konsumsi listrik per kapita mencapai 956 Kilowatt-Hour (KWh) per kapita.
Menurut Jonan, pemerintah justru berharap agar tarif listrik justru dapat turun per tiga bulannya. Untuk itu, tarif beli setrum PT PLN (Persero) dari pembangkit yang dikembangkan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) juga harus lebih murah dari sebelumnya.
Pembelian tarif listrik juga harus sesuai dengan Biaya Pokok Penyediaan (BPP)pembangkitnya.
Pemerintah pun baru-baru ini menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2017, di mana pembelian tarif listrik oleh PT PLN (Persero) dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik IPP dipatok sebesar 85 persen dari BPP.
Namun menurutnya, efisiensi dari aspek lain juga perlu didorong agar BPP pembangkit listrik bisa semakin rendah.
"Kemarin ada usulan dari PLN, bagaimana kalau pembelian batu bara untuk PLTU dikenakan di angka 85 persen dari Harga Batu Bara Acuan (HBA). Tapi ini masih usulan saja," ujarnya.
Optimalkan PembangkitPenurunan BPP pembangkit listrik, menurut dia juga dapat efisien jika pembangkit listrik bisa dekat dengan sumber energi. Ini dimaksudkan agar beban transportasi bahan baku pembangkit bisa ditekan semaksimal mungkin.
Oleh karena itu, pemerintah akan mengoptimalkan pembangunan PLTU mulut tambang (
mine mouth) dan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) kepala sumur (
well head) di dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2017 - 2026.
Ia mengatakan, optimasi kedua jenis pembangkit itu harus dimulai saat ini mengingat ongkos transportasi bahan baku akan terus naik setiap periodenya.
"Dalam jangka panjang, transportasi batu bara atau gas akan lebih mahal dibanding biaya produksi listrik itu sendiri," ungkapnya.
Selain itu, pemerintah juga berencana mengubah tenaga pembangkit dengan bahan baku yang lebih efisien.
"Kalau listrik naik terus, pemerintah akan cari cara lain. Bisa juga dengan konversi, sekarang saja banyak kok dari Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) jadi gas," jelasnya.
Sesuai Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 Tahun 2017, tarif listrik bagi 13 golongan non-subsidi sedianya dilakukan penyesuaian (tariff adjustment) setiap tiga bulan sekali.
Dalam pasal 6 beleid tersebut, tarif listrik ditentukan oleh tiga hal, yaitu inflasi, harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP), dan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Di dalam penyesuaian tarif yang dilakukan 1 April lalu, pemerintah memutuskan tidak mengubah tarif listrik hingga akhir Juni mendatang.
Menurut data PLN, tarif listrik non-subsidi di Tegangan Rendah (TR) tercatat Rp1.467,28 per KWh, tarif listrik di Tegangan Menengah (TM) sebesar Rp1.114,7 per KWh. Tarif listrik di Tegangan Tinggi (TT) Rp996,74 per KWh dan tarif listrik di Layanan Khusus Rp1.644,52 per KWh.