Surabaya, CNN Indonesia -- Kementerian Perindustrian (Kemenperin) menilai, naiknya capaian hilirisasi industri kelapa sawit di akhir tahun lalu menjadi alasan Parlemen Uni Eropa (UE) mengeluarkan Resolusi bertajuk Report on Palm Oil and Deforestation of Rainforests.
Dirjen Industri Agro Kemenperin Panggah Susanto memaparkan, persentase ekspor produk hilir industri minyak kelapa sawit mentah (Crude Palm Oil/CPO) pada tahun 2016 meningkat menjadi 70 persen dari tahun 2015 sebesar 60 persen.
Sementara itu, untuk ekspor produk hulunya sendiri turun dari 40 persen menjadi 30 persen. Namun begitu, untuk total nilai ekspor secara keseluruhan, baik hulu maupun hilir pada tahun 2016 tercatat turun menjadi US$19,6 miliar dari tahun 2015 sebesar US$19,77 miliar. Hal ini disebabkan harga CPO yang mengalami penurunan sepanjang tahun lalu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemudian produksi CPO sepanjang tahun lalu mencapai 33,5 juta ton. Artinya kami merupakan produsen terbesar sawit di dunia dan bersama Malaysia sudah kira-kira 85 persen penguasaan sawit dunia. Ini mungkin yang membuat UE terus menekan kita, nilai tambah tinggi tentu itu masuk ke pasar mereka," papar Panggah di Surabaya, Senin (17/4).
Lebih lanjut ia menjelaskan, untuk kapasitas produk produk olahannya sendiri juga meningkat jika dibandingkan dengan tahun 2015. Ia merinci, untuk biodiesel sendiri naik menjadi 12,8 juta ton dari sebelumnya 8,5 juta ton, bahan baku kosmetik meningkat menjadi 2,7 juta ton dari 1,5 juta ton, sedangkan minyak goreng sawit stagnan 45 juta ton.
Sementara itu, luas lahan yang dikuasai untuk penanaman sawit sendiri hingga akhir Maret 2017 seluas 11,9 juta hektare (ha). Di mana 53 persen atau 6,36 juta dikuasai oleh swasta, 40 persen atau sebesar 4,7 ha digenggam oleh rakyat, sedangkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) hanya menguasai tujuh persen atau 0,84 juta ha.
Menurut Panggah, kini pihaknya tengah melakukan pengkajian terhadap dampak dari resolusi UE terhadap pertumbuhan industri hilir dalam negeri. Kemenperin sendiri telah melakukan koordinasi dengan kementerian lain dalam menyiapkan dokumen untuk melawan resolusi UE yang menyerang industri sawit di Indonesia.
"Pada bulan Mei akan dilakukan Ministerial Mission CPOPC untuk mengadvokasi ke komisi UE sekaligus menyampaikan fakta bahwa industri kelapa sawit baik hulu maupun hilir telah memenuhi standar," ungkap Panggah.
Di sisi lain, Kemenperin juga menilai, rencana UE menghentikan konsumsi biodisel berbasis sawit akan merugikan UE sebab minyak sawit merupakan bahan baku yang paling murah untuk biofuel.
Untuk mengantisipasi ancaman dari UE terkait larangan pemakaian biodiesel pada 2020 mendatang, maka pemerintah melakukan tindakan mitigasi seperti meningkatkan konsumsi biodiesel B-20 dan mencari pasar ekspor biodiesel non konvensional, diantaranya negara Jepang, China, India, Malaysia, dan Timur Tengah.
Sebagai informasi, dalam resolusi yang dikeluarkan oleh Parlemen UE berisi pendapat UE tentang pengembangan industri sawit di Indonesia yang tidak memperhatikan lingkungan sehingga merusak hutan. Sehingga, parlemen UE merekomendasikan untuk melarang pemakaian biodiesel berbasis sawit.
"Pengaruh jangka pendek dari resolusi itu adalah timbulnya citra negatif yang akan menyebabkan pengaruh jangka panjang berupa hambatan perluasan pangsa pasar ekspor," pungkas Panggah.