Jakarta, CNN Indonesia -- Harga minyak mentah dunia merosot 1 persen pada perdagangan Senin (17/4) setelah peningkatan produksi minyak non konvensional Amerika Serikat dan aksi ambil untung pelaku pasar karena harga telah menanjak selama tiga pekan berturut-turut.
Dikutip dari
Reuters, Energy Information Administration (EIA) memprediksi produksi minyak non-konvensional akan mencapai puncak pertumbuhan produksinya dalam dua tahun terakhir. Ini menambah kekhawatiran bahwa kenaikan tersebut bisa meredam dampak dari kebijakan pembatasan produksi negara-negara produsen minyak.
Di sisi lain, kondisi pasar yang tengah positif memicu pelaku pasar melakukan aksi ambil untung. Spekulan pada pekan lalu juga meningkatkan volume kontrak sehingga terjadi kelebihan beli (
overbought) di pasar.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasilnya, harga minyak Brent berjangka ditutup melemah US$0,53 ke angka US$55,36 per barel. Sementara itu, harga minyak West Texas Intermediates (WTI) menurun US$0,53 ke angka US$52,65 per barel.
Sementara itu, volume perdagangan terbilang tipis, di mana sebanyak 152 ribu kontrak Brent berjanhka dan 296 ribu kontrak WTI berjangka berpindah tangan. Angka ini hanya separuh dari aktivitas perdagangan pada hari Kamis pekan lalu.
Organisasi negara-negara pengekspor minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) akan bertemu pada tanggal 25 Mei mendatang untuk mempertimbangkan kelanjutan pemangkasan produksi pada semester II mendatang.
Iran berharap kebijakan ini bisa diteruskan meski Arab Saudi bilang masih terlalu dini untuk mengambil keputusan tersebut.
Di sisi lain, pelaku pasar juga fokus pada dampak ketegangan geopolitik di beberapa negara terhadap harga minyak. Utamanya, tensi antara Amerika Serikat dan Korea Utara.
Wakil Presiden AS Mike Pence menperingatkan bahwa serangan AS di Suriah dan Afghanistan bisa memberi pelajaran bahwa Korea Utara jangan pernah main-main dengan Presiden Donald Trump.