Jakarta, CNN Indonesia -- PT PLN (Persero) menanti beleid terbaru pemerintah ihwal pengaturan usaha niaga gas. Pasalnya, perusahaan terus menanggung tarif infrastruktur yang kerap mendekati harga gas hulunya.
Kepala Divisi Minyak dan Gas PLN Chairani Rachmatullah menuturkan, tingginya biaya penyaluran gas ini berimbas pada tarif setrum yang tidak efisien. Padahal, saat ini perusahaan setrum pelat merah itu tengah berupaya mengefisienkan Biaya Pokok Pembangkitan (BPP) listrik.
"Jelas kami menunggu regulasi pemerintah dari sisi
midstream gas. Karena kami sering bertanya-tanya, kenapa kami bayar gas sekian tapi justru di
midstream-nya malah lebih besar?" jelas Chairani, Rabu (3/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia menuturkan, ada kalanya PLN malah justru menanggung biaya infrastruktur yang dibangun badan usaha niaga gas. Ia mencontohkan pipa Arun-Belawan milik PT Pertamina Gas (Pertagas), di mana ruas pipa tersebut hanya digunakan oleh PLN.
Sebagai imbasnya, PLN harus membayar
toll fee sebesar nilai investasi Pertagas untuk pipa Arun-Belawan yang dibagi rata selama 15 tahun, atau selama masa kontrak PLN dengan Pertagas.
"Kalau seperti ini, ujung-ujungnya kan kami yang mengganti 100 persen investasi untuk pipa Arun-Belawan. Memang, pipa itu hanya kami yang menggunakan, tapi ini juga perlu diatur harganya. Kami ingin
toll fee-nya wajar dan tidak semua risiko diberikan ke kami. Makanya kami sangat menunggu aturan mengenai
midstream ini," jelasnya.
Bahkan menurutnya, saat ini
toll fee Arun-Belawan merupakan tarif distribusi gas tertinggi yang diemban perusahaan, yaitu sebesar US$2,53 per MMBTU. Apabila ditambah fasilitas regasifikasi sebesar US$1,5 per MMBTU, maka PLN harus mengemban biaya
midstream sebesar US$4,03 per MMBTU.
Padahal, harga gas hulu yang melalui pipa Arun-Belawan hanya di kisaran US$5 per MMBTU. Artinya, beban
midstream perusahaan di pipa Arun-Belawan mencapai 86 persen dari harga gas hulunya.
Selain pipa Arun-Belawan,
toll fee tinggi lainnya yang perlu ditanggung perusahaan adalah pipa bagi pembangkit Tambak Lorok yang dibangun PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN). Menurutnya,
toll fee di ruas pipa ini mencapai US$2,53 per MMBTU meski harga gas hulunya sebesar US$4,6 per MMBTU. Artinya,
toll fee-nya saja sebesar 55 persen dari harga gas itu sendiri.
"Kalau begini, artinya harga
midstream dan hulunya ini kejar-kejaran, dan seharusnya tidak boleh seperti itu. Kami mengimbau bahwa infrastruktur ini diperlakukan sebagai infrastruktur, jangan dijadikan sebagai
business entity. Sehingga perlu ada kewajaran harga dan tidak semua risiko dikasih ke kita," paparnya.
Menurut data PLN, perusahaan pada tahun lalu menggelontorkan uang sebesar Rp51,8 triliun untuk membayar bahan bakar gas bagi pembangkit. Angka itu meningkat 14,91 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya Rp45,08 triliun.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan berjanji akan menyelesaikan perkara
toll fee tersebut. Dalam waktu dekat, dirinya akan menghitung sendiri nilai investasi, nilai penyusutan, masa pakai, hingga tingkat pengembalian internal (
Internal Rate of Return/IRR) yang tepat untuk bisnis niaga gas.
"Tentu kami akan hitung kembali agar tidak
overpricing. Kalau
overpricing ya bahaya. Saya minta semua pemain
midstream menjalankan bisnis pipa seperti jalan tol. Mau penggunanya sepi atau ramai, tarifnya harus sama," jelasnya.
Sebelumnya, Kementerian ESDM berencana untuk menerbitkan beleid ihwal tarif niaga niaga gas. Di dalam rencana peraturan itu, pemerintah akan membatasi tingkat IRR sebesar 11 persen, margin usaha ditetapkan 7 persen dari biaya operasional, dan perpanjangan depresiasi hingga 15 tahun.