Jakarta, CNN Indonesia -- Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) meminta PT Chevron Pacific Indonesia untuk menghitung keekonomian lapangan migasnya di Blok Rokan apabila sistem kontrak bagi hasilnya (
production sharing contract/PSC) berubah dari
Cost Recovery ke
Gross Split. Permintaan disampaikan langsung ketika perusahaan migas Amerika Serikat (AS) itu menyambangi Kementerian ESDM, hari ini, Senin (8/5).
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengungkapkan, Chevron sempat berujar bahwa split yang tercantum di dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 8 Tahun 2017 tak masuk dalam keekonomiannya jika perusahaan tersebut melanjutkan kontraknya di blok Rokan.
Namun, menurut Arcandra, blok Rokan adalah satu dari 10 wilayah kerja (WK) migas yang datanya menjadi basis perhitungan bagi hasil dasar (
base split) untuk PSC Gross Split. Sehingga, seharusnya tidak ada masalah dengan keekonomiannya jika rezim PSC diganti.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebagai informasi, di dalam beleid tersebut, pemerintah menetapkan split dasar bagi produksi minyak sebesar 57 persen bagi pemerintah dan 43 persen bagi Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). Sementara itu, split dasar bagi produksi gas terbilang 52 persen bagi negara dan 48 persen bagi KKKS.
"Tadi pagi sudah ada diskusi sama Chevron. Mereka minta split-nya belum pas. Terus, saya bilang kalau Rokan adalah blok Migas yang salah satu datanya kami kalibrasikan untuk menentukan basis
Gross Split," ujarnya, Senin (8/5).
Menurutnya, banyak KKKS yang sampai saat ini masih salah kaprah dengan perhitungan Gross Split. KKKS selalu mengartikan bahwa mereka harus efisiensi besar-besaran jika ingin tingkat keekonomiannya sama seperti rezim
cost recovery.
Namun, sebetulnya, ada variabel lain yang belum dimasukkan ke dalam perhitungan KKKS, yaitu pemangkasan waktu untuk melaksanakan kajian awal atau
Preliminary Front End Engineering Design (FEED), hingga pemilihan kontraktor konstruksi (
engineering,
procurement, dan
construction/EPC).
Di dalam
Gross Split, jangka waktu Pre FEED bisa berkurang banyak karena kontrak dan pengadaannya ditentukan langsung oleh KKKS, sehingga KKKS tak perlu berdebat banyak dengan Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) terkait biaya pengadaan tersebut.
Menurutnya, perdebatan masalah biaya ini memperpanjang waktu berproduksi beberapa lapangan migas.
Ia mencontohkan, periode pre-FEED hingga Onstream Blok Cepu yang dikelola ExxonMobil Cepu Ltd sebenarnya bisa turun dari 152 bulan ke 120 bulan jika Gross Split ini sudah berlaku bertahun-tahun yang lalu.
Dengan kondisi yang sama, ia menunjukkan bahwa proses pengadaan proyek Tangguh Train 3 milik British Petroleum (BP) Berau Ltd bisa mencapai 83 bulan saja atau lebih singkat dari realisasinya, yakni 105 bulan.
"Proses pengadaan ini sebenarnya bisa di-
save (dihemat) dua hingga tiga tahun. Kalau bicara split, jangan diartikan bahwa Gross Split tidak
attractive (menarik). Jadi, untuk Chevron, keekonomian Gross Split mereka hitung. Saya tantang mereka memberikan datanya," pungkasnya.