Penerapan 'Gross Split' Dinilai Cuma Untungkan Pemerintah

CNN Indonesia
Selasa, 16 Mei 2017 14:59 WIB
Dengan gross split, bagi hasil kontraktor bisa lebih kecil dari 50 persen, karena split kontraktor masih perlu dideduksi PPh migas dan biaya produksi.
Dengan gross split, bagi hasil kontraktor bisa lebih kecil dari 50 persen, karena split kontraktor masih perlu dideduksi PPh migas dan biaya produksi. (CNN Indonesia/Galih Gumelar).
Jakarta, CNN Indonesia -- Penerapan bagi hasil produksi dengan skema gross split dinilai cuma menguntungkan pemerintah dan tidak memberikan keadilan bagi kontraktor. Bahkan, investor sangsi nilai keekonomian lapangan migasnya dengan bagi hasil (split) dasar yang tertuang di Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 8 Tahun 2017 akan sama dengan rezim bagi hasil dengan skema cost recovery.

Pengamat Energi dari Reforminer Institute Pri Agung Rakhmanto mengatakan, secara kasat mata, memang bagi hasil dasar bagi kontraktor dalam skema gross split sebesar 43 persen bagi produksi minyak dan 48 persen bagi gas dianggap lebih baik dibanding cost recovery yang hanya 15 persen untuk minyak dan sebesar 30 persen untuk gas.

Namun, sebetulnya, skema gross split malah memberatkan investor. Menurutnya, dengan menggunakan cost recovery, bagian produksi yang tersisa untuk dijual (equity to be split) kontraktor bisa mencapai 50 persen.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berbeda kalau menggunakan gross split, bagi hasil kontraktor bisa lebih kecil dari 50 persen. Hal ini dikarenakan split kontraktor masih perlu dideduksi Pajak Penghasilan (PPh) migas, serta biaya produksinya.

"Makanya, tak heran banyak pelaku usaha yang memprotes implementasi gross split ini karena sifatnya tidak win-win investment. Kalau cost recovery kan sifatnya hanya pemerintah yang win (menang)," ujarnya, Selasa (16/5).

Menurutnya, saat ini, pemerintah masih melihat gross split dari kacamata penerimaan negara semata. Ia beralasan, saat ini based split bagian pemerintah di dalam gross split sebesar 57 persen dianggap tidak sesuai dengan implementasi di negara-negara lain yang di bawah 30 persen.

Jika based split dibuat 30 persen, Pri yakin, equity to be split milik kontraktor bisa sama seperti cost recovery. Makanya, ia berharap, pemerintah mau mengubah ketentuan based split dari 57 persen ke rentang 30 hingga 35 persen berdasarkan negosiasi.

"Bisnis ini fleksibel saja, jangan dibuat kaku. Bisnis ini kan dasarnya negosiasi. Menurut saya, biarkan saja based split dibuat dalam rentang 30 hingga 35 dan angka tetapnya dibuat negosiasi saja. Jangan dibuat tetap 57 persen atau 52 persen," terang Pri.

Selain masalah based split, ia menyayangkan sikap pemerintah yang memberlakukan bagi hasil produksi secara setengah-setengah. Buktinya, meski sudah berbentuk gross split, pemerintah masih tak mau menanggalkan ketentuan yang sedianya terdapat dalam skema cost recovery.

Salah satu contoh, pemilikan aset milik negara sesuai pasal 21 Permen Gross Split. Di dalam produksi bagi hasil berskema gross split, pemilikan aset milik negara boleh dilakukan karena asetnya dibayar pemerintah melalui pemulihan biaya (cost recovery).
Padahal, sejatinya, dalam produksi bagi hasil berskema gross split, kepemilikan aset seharusnya ada di tangan kontraktor. Apalagi, biaya investasi asetnya tidak diganti pemerintah.

"Pemerintah tentunya harus konsisten. Kalau mau gunakan gross split, jangan gunakan apparatus PSC (produksi bagi hasil). Bebaskan pengadaan sendiri, nanti itu akan berpengaruh ke implikasi keekonomian mereka. Contoh, kepemilikan aset milik negara itu tidak sinkron dengan konsep gross split," jelas Pri.

Di samping itu, lapangan-lapangan baru masih membutuhkan sistem cost recovery agar keekonomian lapangannya semakin baik. Pemerintah diharapkan tidak memaksakan konsep PSC gross split untuk semua lapangan.

"Gross split ini cocoknya di lapangan yang sudah mature (matang), berproduksi, dan sudah terminate semua risiko. Kalau risikonya masih tinggi, lebih baik gunakan cost recovery," imbuhnya.

Sebagai informasi, pemerintah mengubah rezim PSC cost recovery menjadi gross split. Gross split merupakan skema bagi hasil produksi migas berdasarkan prinsip gross tanpa pemulihan biaya operasi.

Sistem ini berbeda dengan cost recovery, di mana split antara pemerintah dan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) akan dilakukan setelah produksi bruto dikurangi produksi tertentu dari sebuah blok migas (First Tranche Petroleum/FTP) dan pemulihan biaya produksi migas yang dikeluarkan KKKS (cost recovery).
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER