Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Pembangunan Asia (Asian Development Bank/ADB) menilai, perbaikan peringkat kemudahan berusaha (Easy of Doing Business/EoDB) di Indonesia sebanyak 15 peringkat pada tahun lalu, belum mencerminkan pemerataan ekonomi, seperti yang diinginkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Ekonom manajemen publik ADB, Rabin Hattari mengatakan, hal ini terlihat dari kecenderungan berusaha di lima kota besar di Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, Medan, Balikpapan, dan Makassar yang bahkan belum menunjukkan pemerataan, apalagi bila dibandingkan dengan kota-kota yang terbilang lebih kecil.
"Memulai usaha terbilang efisien di Jakarta dan Surabaya, namun para pengusaha di Makassar harus menempuh lebih banyak prosedur dan waktu panjang," ujar Rabin di kantornya, Rabu (24/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Rabin merinci, sebagian kita masih memberlakukan izin yag tak memiliki legalitas kuat, misalnya SKDU di Surabaya dan Medan. Lalu, di Makassar, masih ada penambahan rantai urusan perizinan di lapangan.
Tak hanya itu, ADB masih menemukan adanya izin ganda untuk fungsi serupa, misalnya UKL dan UPL, lalu SPPL dan HO, yang digunakan dalam pengurusan banguan atau lokasi usaha.
"Berbagai variasi (aturan) itu muncul sebagai paduan antara kehendak berotonomi dan diskresi yang salah dengan tiadanya standarisasi nasional yang menimbulkan kebingungan bahkan riisiko ketidakpastian berusaha di daerah," jelas Rabin.
Selain itu, ADB juga melihat, pola komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah masih belum terjalin dengan baik. Begitu pula dengan komunikasi pemerintah daerah (pemda) kepada pengusaha.
Hal ini, menjadi alasan tidak efektifnya implementasi sejumlah penyederhaan regulasi yang tertuang dalam paket kebijakan ekonomi, yang diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian sejak setahun terakhir. Pasalnya, monitor pelaksanaan deregulasi perizinan menjadi tidak efektif.
Hasilnya, secara rata-rata, jumlah prosedur perizinan di Indonesia sebanyak sembilan prosedur, padahal targetnya hanya tujuh prosedur. Lalu, dari segi lama waktu pengurusan perizinan, masih membutuhkan waktu sekitar 17 hari, padahal targetnya hanya 10 hari.
Adapun dari segi biaya resmi yang dibutuhkan, rata-rata di Indonesia mencapai Rp73 juta. Sedangkan alih hak atas properti memakan biaya Rp183 juta untuk pengurusan izin atau syarat di enam prosedur yang ada.
Sementara, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengatakan, komunikasi antara pemerintah pusat dan daerah menjadi kunci untuk memperbaiki kemudahan berusaha di Indonesia. Pasalnya, dengan begitu, sejumlah deregulasi yang tertuang dalam paket kebijakan bisa berlaku efektif.
Selain itu, pemerintah pusat juga harus tegas dalam memonitor dan mengevaluasi kerja pemda karena tak dapat dipungkiri, porsi pengajuan izin usaha lebih banyak di daerah, dibandingkan di Ibukota DKI Jakarta sehingga aturannya harus sinkron, agar kemudahan tak hanya terjadi di Jakarta saja.
"Di Jakarta mungkin sudah Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) tapi di daerah belum, masih banyak pintunya dan kental dengan pungutan liar. Biayanya bisa Rp700 ribu di Makassar, Rp500 ribu di Surabaya, dan Rp1 juta di Medan," kata Robert.