Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kelihatannya harus bekerja ekstra keras untuk membuktikan keabsahan opininya, setelah dua auditornya terjerat kasus dugaan suap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akhir pekan lalu. Dua auditor BPK tersebut diamankan KPK dalam Operasi Tangkap Tangan terkait pemberian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) kepada Kementerian Pedesaan, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Dalam OTT tersebut, KPK juga mengamankan uang senilai Rp1,22 miliar yang diduga diberikan oleh dua oknum pejabat Kemendes PDDT. Tentunya, insiden ini mencoreng nama baik BPK selaku lembaga audit keuangan negara. Bahkan, wajar kalau sebagian masyarakat mulai meragukan pernyataan profesional BPK terhadap lembaga-lembaga pengelola keuangan negara, seperti Kementerian/Lembaga (K/L), BUMN, BUMD, dan Badan Layanan Umum.
Lantas, perlukah opini BPK dipertanyakan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tentu saja perlu. Namun, sebelum menguji keabsahan opini BPK, perlu dipahami bahwa peran BPK dijamin oleh konstitusi. Pasal 23E Perubahan Ketiga Undang-undang Dasar 1945 memberi mandat kepada BPK untuk memeriksa pengelolaan dan tanggungjawab keuangan negara.
Kemudian, Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK juga mengatur jelas soal tugas dan wewenangnya. Sebagai bagian dari tugasnya, BPK akan memberi pernyataan profesional atawa opini terkait informasi keuangan yang diperolehnya dalam laporan keuangan pemerintah dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.
Anggota BPK Achsanul Qosasi mengungkapkan, proses pemberian nilai dan opini terhadap laporan keuangan pemerintah dan K/L dilakukan secara berjenjang. BPK menerjunkan tim, mulai dari belasan hingga puluhan auditor untuk memeriksa laporan keuangan tersebut.
Proses pemeriksaan dimulai setelah pemerintah dan K/L atau badan lain menyelesaikan laporan keuangannya. Pemeriksaan BPK rata-rata memakan waktu tiga hingga empat bulan.
"Misalnya, untuk tahun lalu, kami periksa mulai dari Januari, Februari, Maret, dan April baru selesai. Untuk seluruh K/L, kami memberikan keputusan di sidang badan per 16 April 2017," ujarnya kepada cnnindonesia.com, Rabu (31/5).
Pemeriksaan dilakukan terhadap seluruh transaksi yang terkait dengan keuangan negara dengan melihat kewajaran pembukuan, rekening, bukti transaksi, hingga output transaksi.
Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2006, pemeriksaan dilakukan sesuai standar meliputi standar umum, standar pelaksanaan pemeriksaan, serta standar pelaporan yang wajib dipedomani oleh BPK atau pemeriksa.
Mengacu Standar Pemeriksaan Keuangan Negara, kriteria pemeriksaan bergantung dengan konteks pemeriksaan yang dilakukan. Namun, kriteria tersebut harus relevan, lengkap, andal, netral, dan dapat dipahami.
Kriteria pemeriksaan dapat bersumber dari ketentuan peraturan perundangundangan, standar yang diterbitkan organisasi profesi tertentu, kontrak, kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh entitas yang diperiksa atau kriteria yang dikomunikasikan oleh pemeriksa kepada pihak yang bertanggungjawab.
Selanjutnya, hasil pemeriksaan yang diberikan oleh tim akan diuji secara bertahap oleh kepala tim atau pengendali teknis dan penanggungjawab melalui mekanisme rapat konsinyering setidaknya tiga kali.
Hasil rapat akan diserahkan kepada pimpinan BPK untuk dibawa ke dalam sidang badan yang dihadiri oleh sembilan orang anggota BPK. kemudian, hasil pemeriksaan tersebut dirangkum menjadi opini yang menentukan kewajaran laporan keuangan yang disajikan.
Lalu, opini ini disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), termasuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan kewenangannya dalam bentuk Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP).
Barulah hasil pemeriksaan tersebut ditindaklanjuti oleh lembaga perwakilan dan badan lain sesuai dengan UU.
Ada empat jenis opini yang diberikan BPK terhadap laporan keuangan.
Pertama, opini WTP diberikan jika laporan keuangan telah dibukukan dan diungkap secara benar dan wajar dalam semua hal yang material.
Kedua, opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP) diberikan jika laporan keuangan telah dibukukan dan diungkapkan secara benar dan wajar, dalam semua hal yang material, namun masih terdapat pengecualian.
Ketiga, opini Tidak Wajar yang menyatakan bahwa laporan keuangan tidak disajikan dan diungkapkan secara benar dan wajar, dan
keempat, opini tidak menyatakan pendapat alias
disclaimer jika laporan keuangan tidak dapat diperiksa sesuai dengan standar pemeriksaan.
Opini tersebut diberikan apabila BPK selaku auditor tidak yakin dengan laporan keuangan itu. Mengingat mekanisme yang berlapis itulah, Achsanul meyakini, prakti jual beli opini di BPK sulit dilakukan oleh seorang individu.
"Opini BPK bisa dipertanggungjawabkan. Namun, bisa saja ada oknum yang membesar-besarkan peran dirinya (dalam proses pemeriksaan) untuk mendapatkan imbalan, tapi tidak mungkin sendirian kerja," imbuhnya.
Kredibilitas Pemerintah DiujiSebetulnya, Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih mengungkapkan, investor dan pelaku usaha tidak terlalu menganggap penting status WTP suatu K/L. Artinya, predikat itu tidak menjadi variabel dalam mengambil keputusan bisnis dengan kementerian terkait.
Menurutnya, tekanan dari pimpinan lembaga, kementerian, bahkan Presiden cukup menjadi faktor yang mendorong K/L untuk berlomba-lomba memperoleh opini WTP.
"Seolah-olah menjadi kinerja kementerian bahwa kalau WTP kementeriannya baik. Pak Jokowi (Presiden Joko Widodo) ini kan cenderung gampang gonta-ganti menteri. Jadi, menterinya ketar-ketir terus," kata Lana.
Terkait OTT KPK terhadap dua auditor BPK, Lana mengaku tak heran. Toh, kejadian serupa beberapa kali terjadi pada aparat pemerintah. Namun, sangat disayangkan, karena insiden tersebut mengindikasikan bahwa komitmen untuk mengurangi praktik korupsi di kalangan pemerintah tidak terlalu kuat dan tidak didukun goleh lembaga negara.
Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menyebut, kredibilitas pemerintah menjadi taruhan jika BPK sebagai badan pemeriksa pengelolaan keuangan negara, gagal menjalankan fungsinya dengan baik.
Pasalnya, sambung dia, hal itu akan memengaruhi opini masyarakat terhadap kredibilitas pemerintah sebagai pihak yang dinilai. Jika masyarakat menganggap pemerintah tidak kredibel dalam mengelola keuangannya, maka masyarakat cenderung enggan untuk mengikuti kebijakan pemerintah.
"Salah satu kunci untuk menggenjot penerimaan pajak adalah kredibelitas pemerintah. Jika pemerintah kredibel, otomatis para pembayar pajak punya sedikit alasan untuk kemudian tidak membayar pajak atau melakukan manipulasi," terang Faisal.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani mengibaratkan, BPK sebagai auditor yang menilai laporan keuangan suatu perusahaan. Jika perusahaan mendapatkan opini WTP, maka perusahaan mendapatkan pengakuan atas tata kelola administrasi keuangan yang dijalankan.
Tentunya, hal ini menciptakan kepercayaan dari pihak-pihak terkait, misalnya perbankan yang akan mengucurkan kredit. "Bagi perusahaan yang diaudit oleh Kantor Akuntan Publik, opini WTP merupakan hal penting. Karena penilaian itu menunjukkan bahwa tata kelola administrasi perusahaan itu baik," ujar Hariyadi.
Karenanya, Hariyadi berharap, penilaian BPK harus dilakukan sesuai prosedur, objektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, masyarakat tidak ragu atas opini yang diberikan.