ANALISIS

Bongkar Pasang Rancangan APBNP 2017

CNN Indonesia
Jumat, 02 Jun 2017 15:45 WIB
Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat peluang asumsi makro dapat berubah. Ia optimistis, pertumbuhan ekonomi bisa melaju lebih kencang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani melihat peluang asumsi makro dapat berubah. Ia optimistis, pertumbuhan ekonomi bisa melaju lebih kencang. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono).
Jakarta, CNN Indonesia -- Memasuki pertengahan tahun, pemerintah mulai mengevaluasi kinerja perekonomian dan berupaya menyesuaikan dengan asumsi makro yang dipatok dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017. Pemerintah melihat peluang asumsi makro dapat berubah dan dituangkan dalam Rancangan APBN Perubahan (RAPBNP) 2017.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan, pertama, terkait pertumbuhan ekonomi. Berkaca pada realisasi pertumbuhan kuartal I 2017 yang sebesar 5,01 persen, ia mengaku, melihat peluang bahwa pemerintah bisa mengerek pertumbuhan melampaui target awal yang ditetapkan dalam APBN 2017, yaitu sebesar 5,1 persen.

"Pertumbuhan ekonomi mungkin diperkirakan membaik, meskipun kami harus secara hati-hati melihat kuartal kedua dan ketiga. Outlook-nya bisa mencapai 5,3 persen, meskipun kami tetap antara 5,1 persen-5,3 persen," ujarnya usai Rapat Terbatas di Istana Negara, Selasa lalu (1/6).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kedua, terkait harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil Prices/ICP). Sejak Januari-April 2017, harga rata-rata ICP menembus US$50,66 per barel. Capaian ini lebih besar sekitar 58,56 persen dari rata-rata ICP tahun lalu yang sebesar US$31,95 per barel dan lebih tinggi dari asumsi pemerintah dalam APBN 2017 sebesar US$45 per barel.

Dengan harga minyak di kisaran US$50 per barel, menurut Sri Mulyani, ada potensi peningkatan Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) minyak dan gas bumi (migas) sepanjang tahun ini. Bahkan, peningkatannya mampu mengompensasi target penerimaan pajak yang diperkirakan meleset, sekalipun pemerintah telah melangsungkan program pengampunan pajak atau tax amnesty yang berakhir pada 31 Maret 2017 lalu.

"Tidak setinggi yang dibayangkan pada saat menyusun APBN, dimana pertumbuhan pajaknya berdasarkan APBN 2017 dan dengan penerimaan 2016, asumsinya pertumbuhan pajak 16 persen. Kami memperkirakan, mungkin sekitar 13 persen," terang dia.

DITUNDA - Bongkar Pasang Rancangan APBNP 2017(CNN Indonesia/Astari Kusumawardhani).

Namun demikian, mantan direktur pelaksana Bank Dunia tersebut belum mengungkap asumsi makro lainnya. Ia menyebut, pemerintah masih terus menggodok kesesuaian target dengan perkembangan dan potensi ekonomi hingga akhir tahun ini.

Kendati ia melihat ada celah perubahan asumsi makro APBN 2017, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati menilai, pemerintah harus realistis mempertimbangkan perubahan asumsi makro tersebut, khususnya terkait pertumbuhan ekonomi.

Menurut Enny, seharusnya, pemerintah tak perlu merumuskan APBNP 2017. Sebab, ia pesimis, pemerintah dapat mengerek pertumbuhan hingga 5,3 persen di tahun ini. Selain itu, ia melanjutkan, akan lebih baik jika pemerintah berupaya semaksimal mungkin untuk mengejar target awal.

"Paling banter hanya 5,2 persen. Itu pun, syaratnya di semester II harus 5,4 persen minimal, tapi tidak bisa ekonomi jumping (lompat) seperti itu. Tidak bisa seperti membalik telapak tangan," ucap Enny.

Ia menjelaskan, pertumbuhan ekonomi tak bisa mencapai 5,3 persen karena konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi penopang utama pertumbuhan, hanya mampu tumbuh di kisaran lima persen sampai akhir tahun. Adapun, pada kuartal I 2017 lalu, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,93 persen.

Tak cuma itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang tercermin dari penjualan ritel, belum mampu bertumbuh lebih dari tujuh persen. Konsumsi rumah tangga masih tertekan daya beli masyarakat dan dibayangi inflasi yang cenderung tinggi sejak awal tahun. Bahkan, inflasi tahun ini diperkirakan lebih dari target empat persen yang ditetapkan dalam APBN 2017. Kondisi ini berbeda dengan dua tahun terakhir, dimana inflasi lebih terkendali bahkan realisasinya di bawah target pemerintah.

Selain konsumsi rumah tangga, sambung dia, pertumbuhan ekonomi juga tak bisa melompat jauh lantaran indikator investasi masih belum menunjukkan taringnya, meskipun telah mendapatkan vitamin dari peningkatan kelayakan investasi dari lembaga pemeringkat, Standard and Poor's (S&P). Pemerintah juga tengah mengerek peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB).

"Investasi kuartal I 2017 yang naik hanya investasi fisik. Investasi untuk industri yang non-fisik itu masih minus. Artinya, kemungkinan investasi sampai akhir tahun pertumbuhannya sangat terbatas," imbuh Enny.

Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal memprediksi, indikator pertumbuhan ekonomi yang mampu memberikan sentimen positif yang cukup konsisten adalah ekspor. "Harga komoditas tahun ini tentu akan naik dan turun bergantung jenis komoditasnya. Namun, secara rata-rata akan bertahan di level saat ini, sehingga neraca perdagangan bertahan di level surplus," katanya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-April 2017, Indonesia telah membukukan surplus perdagangan mencapai US$5,33 miliar. Surplus empat bulan pertama terdongkrak oleh peningkatan ekspor yang mencapai US$48,9 miliar sepanjang Januari-April 2017. Sedangkan, pada periode yang sam tahun lalu, ekspor Indonesia hanya sebesar US$41,04 miliar.

Beralih ke indikator inflasi, pengamat ekonomi Indef Bhima Yudhistira Adhinegara memperkirakan, asumsi makro yang perlu diubah, yakni inflasi. Sebab, inflasi diperkirakan jebol ke kisaran 4,3 persen sampai 4,5 persen di tahun ini. Adapun, inflasi tinggi ini cenderung terjadi di Mei dan Juni karena tren gejolak harga selama momentum ramadan dan lebaran.

Selain itu, melesetnya target inflasi di tahun ini, juga dipengaruhi oleh kebijakan tingkat harga yang diatur oleh pemerintah (administered price), yakni peningkatan tarif dasar listrik (TDL) untuk pengguna listrik berkapasitas 900 volt ampere (VA) dalam tiga tahap pada Januari, Maret, dan Mei. Sedangkan, dari sisi gejolak harga pangan (volatile foods) masih berpotensi fluktuatif, bergantung pada pengendalian pemerintah pada inflasi volatile foods ini.

Hingga Mei 2017, Badan Pusat Statistik mencatat laju inflasi secara tahun berjalan (year to date) sebesar 1,67 persen dan inflasi tahunan (year on year) sebesar 4,33 persen. Secara rinci, inflasi Januari 0,97 persen, Februari 0,23 persen, Maret 0,02 persen, dan April 0,09 persen, serta Mei 0,39 persen. Diperkirakan, inflasi Juni sebesar 0,67 persen bersamaan dengan puncak perayaan lebaran.

Kemudian, beralih ke indikator harga minyak mentah, menurut Bhima, bila pemerintah hendak mengubah asumsi ICP ke kisaran US$50 per barel dengan asumsi lifting minyak sebesar 815 juta barel per hari (bph) dan lifting gas sebesar 1.150 juta bph, seharusnya ada potensi peningkatan PNBP migas sekitar 20 persen.

"Target PNBP migas di APBN 2017 sebesar Rp63,7 triliun dengan asumsi ICP US$45 per barel. Kalau asumsi dinaikkan, otomatis PNBP bisa naik antara Rp75 triliun sampai Rp80 triliun," tutur Bhima.

Dengan peningkatan ICP tersebut, Bhima memprediksi, pemerintah juga akan mengerek target lifting migas. Hanya saja, diperkirakan tak jauh  berbeda dari target awal dalam APBN 2017.

Sayangnya, Pengamat Migas dari ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto menyebutkan bahwa sekalipun ada kenaikan harga minyak mentah, namun harapan Sri Mulyani terkait PNBP migas yang diperkirakan bisa memberi kompensasi pada melesetnya penerimaan pajak, masih jauh dari harapan.

Ia bilang, kenaikan harga minyak mentah sampai akhir tahun ini tak akan terlalu signifikan, bahkan cenderung stagnan di kisaran US$50 - US$55 per barel, sehingga nilai tambah pada PNBP tak jauh. Itupun, dengan catatan lifing minyak ditargetkan 815 juta bph.

"Tidak akan signifikan karena kekurangan dari melesetnya penerimaan negara cukup besar. Sementara, kenaikan per US$1 pada ICP, dengan produksi kisaran 800 juta bph, hanya akan membantu di kisaran Rp1 triliun. Itu juga kalau target lifting-nya tercapai," ungkap Pri.

Hitung-hitungan saja, bila target lifting tercapai, pemerintah hanya mampu mendongkrak PNBP migas sekitar Rp5 triliun sampai Rp10 triliun pada tahun ini. Sayangnya, apabila merujuk pada data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas), realisasi lifting kuartal I 2017 hanya sebesar 787,8 ribu bph. Capaiannya masih kurang 3,3 persen dari target lifitng APBN 2017.

Sedangkan, dua indikator yang tersisa, yaitu nilai tukar atau kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan asumsi suku bunga Surat Berharga Negara (SBN) tiga bulan diprediksi tak banyak bergerak. Para ekonom memperkirakan, kurs rupiah tetap Rp13.300 per dolar AS dan suku bunga SBN tiga bulan tetap 5,3 persen.

Dalam mengubah asumsi makro APBN 2017, pemerintah diimbau perlu terus mewaspadai sentimen dari ekonomi global, terutama negara mitra dagang Indonesia, yakni AS. Sebab, ekonomi AS belum pulih, dengan catatan pertumbuhan ekonomi kuartal I 2017 yang cuma 1,2 persen. Padahal, di kuartal IV 2016, ekonomi AS mampu tumbuh di kisaran 2,1 persen.

"Artinya, ekonomi AS masih belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Apalagi, Fed Fund Rate diprediksi naik, pasti memberikan tekanan ke sektor investasi dan kurs," tandas Bhima.

Menagih Janji Reformasi Pajak

Selain memperkirakan perubahan asumsi makro pada APBN 2017, Sri Mulyani juga menyebutkan bahwa pemerintah akan mengubah target belanja. Ia melihat, ada peluang menghemat anggaran hingga Rp16 triliun.

"Kementerian/Lembaga harus menyisir kembali belanja yang sifatnya belanja barang, seperti perjalanan dinas dan lainnya. Kami memperkirakan, ada sekitar Rp16 triliun yang bisa kami sisir dari belanja barang," katanya.

Enny menilai, langkah penghematan tentu baik bila memang pengeluarannya tidak penting. Hanya saja, di samping melakukan penghematan, seharusnya pemerintah bisa menggenjot lebih kuat lagi penerimaan negara, terutama penerimaan pajak yang diperkirakan meleset. Selain itu, penerimaan dari migas yang disebut bisa mengompensasi melesetnya penerimaan pajak merupakan hal yang kurang tepat.

"Migas itu kontribusinya kecil, sehingga sekalipun ada potensi dari migas naik, itu tidak bisa menutup shortfall di pajak. Lalu, mana reformasi pajak yang disebutkan itu?" tegas dia.

Menurutnya, pemerintah langsung menyerah bahwa penerimaan pajak tak akan tercapai lantaran memang tak bisa memaksimalkan reformasi pajak di tahun ini, seperti yang didengungkan usai menggelar tax amnesty. Makanya, pemerintah berniat langsung memeriksa para wajib pajak, baik yang sudah mengikuti tax amnesty atau belum. Tujuannya, untuk melihat dengan teliti apakah masih ada kekurangan dalam membayar pajak.

Reformasi pajak itu, lanjut Enny, memang sulit dimaksimalkan karena revisi Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sebagai landasan hukum yang digunakan DJP bahkan belum dibahas oleh pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) hingga kini.

"Revisi UU KUP-nya saja belum ada, mengenai tata cara saja tidak ada, ini Direktorat Jenderal Pajak sudah punya data tax amnesty lalu bagaimana cara memungutnya?" pungkasnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER