BPH Migas Tak Mau Harga Gas Bumi Diatur Badan Usaha

CNN Indonesia
Selasa, 06 Jun 2017 11:42 WIB
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menilai penetapan harga tersebut dianggap malah menimbulkan inefisiensi.
Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) menilai penetapan harga tersebut dianggap malah menimbulkan inefisiensi. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean)
Jakarta, CNN Indonesia -- Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) tak mau lagi harga gas ditentukan secara negosiasi antar badan usaha penyalur dan pengguna (business-to-business/B-to-B). Pasalnya, penetapan harga tersebut dianggap malah menimbulkan inefisiensi.

Kepala BPH Migas Fashurullah Asa mengatakan, penetapan harga secara B-to-B menyebabkan ongkos angkut (toll fee) tidak bisa dipantau dengan baik. Pasalnya, basis perhitungan toll fee bisa saja didistorsikan oleh badan usaha penyalur.

Selain itu, penetapan harga gas bumi oleh badan usaha juga dianggap bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 002/PUU-I/2003. Amar itu menyebut bahwa harga gas bumi seharusnya diatur oleh pemerintah, sehingga pasal 28 di Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2001 bersifat tak mengikat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ke depan, kami inginnya penetapan harga gas bumi dilakukan oleh pemerintah. Karena jika harga gas dilakukan secara B-to-B, maka itu menyebabkan inefisiensi. Ini yang masih bikin harga gas mahal meski pemerintah telah menurunkan harga gas di hulu," jelas Fanshurullah ditemui di kantornya, Senin (5/6).

Ia melanjutkan, penetapan harga gas secara B-to-B berakar dari diperbolehkannya pembangunan pipa yang dibangun dan dimanfaatkan oleh badan usaha untuk mengangkut gas bumi milik sendiri (dedicated hilir).

Badan usaha yang membangun pipa dedicated hilir dipilih melalui proses penunjukkan dan bukan lelang, sehingga ada indikasi penguasan infrastruktur oleh badan usaha penyalur. Akibatnya, harga gas malah diatur secara negosiasi oleh badan usaha.

"Bagi pipa dedicated hilir, toll fee-nya malah jadi tidak ketahuan karena yang dibicarakan langsung adalah harga gasnya," paparnya.

Untuk itu, BPH Migas dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah membahas penghapusan izin pipa dedicated hilir melalui revisi Peraturan Menteri ESDM Nomor 19 Tahun 2009. Jika tidak ada pipa dedicated hilir, maka yang ada hanyalah pipa yang mengangkut gas secara umum (open access).

Menurutnya, gas yang melalui pipa open access jauh lebih efisien dan toll fee pun lebih jelas dipantau. Selain itu, dengan penunjukkan badan usaha yang berbentuk lelang terbuka, BPH Migas bisa mengetahui belanja modal (capital expenditure/capex) badan usaha yang bisa menghasilkan toll fee paling efisien.

"Itu untuk izin yang baru. Sementara untuk izin yang lama, kami akan melakukan rekapitulasi atas toll fee terlebih dahulu," paparnya.

Di samping itu, ia juga berharap peran BPH Migas bisa lebih besar dibanding hanya sekadar mengurus toll fee. Sesuai putusan MK tersebut, ia berharap BPH Migas bisa merekomendasikan harga gas hilir yang paling optimal.

"Kalau pemerintah ingin membesarkan BPH Migas sebagai badan pengatur, kami siap untuk itu. Jadi tidak hanya toll fee, tapi kami bisa rekomendasi harga," pungkas Fanshurullah.

Hingga tahun 2016, panjang pipa dedicated hilir mencapai 4.381,71 kilometer (km) atau 47,54 persen dari total panjang ruas pipa sepanjang 9.215,75 km. Sebagian besar pipa dedicated hilir dikuasai oleh PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk dengan panjang 3.973 km, atau 90,67 persen dari total pipa dedicated hilir.

Sementara itu, panjang pipa open access tercatat 4.831,04 km atau 52,46 persen dari total panjang pipa gas nasional.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER