Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, tujuan pemerintah membuka data nasabah lembaga keuangan melenceng jauh. Saat ini, pemerintah terlihat menyasar pengecekan data keuangan nasabah di dalam negeri. Padahal, pemerintah sebelumnya mengaku membentuk Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) sistem keterbukaan dan akses pertukaran informasi
(Automatic Exchange of Information/AEoI) guna memperoleh akses lembaga jasa keuangan di luar negeri dalam rangka mengungkap harta wajib pajak yang masih tersembunyi.
Ekonom Indef Enny Sri Hartati mengatakan, hal ini terlihat jelas dari keseluruhan aturan main yang dituangkan baik dalam Perppu tersebut maupun Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70 Tahun 2017 tentang petunjuk teknis mengenai akses informasi keuangan untuk pemeriksaan perpajakan.
"AEoI mensyaratkan keterbukaan informasi antar negara. Tapi yang kami lihat, yang dirumuskan dalam Perppu, informasi yang dikemukakan lebih banyak didominasi untuk kepentingan domestik," ujar Enny dalam konferensi pers Indef di kantornya, Kamis (8/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Enny pun menilai alasan pemerintah yang menyebutkan bahwa penetapan batas saldo minimum Rp200 juta sebagai upaya untuk menggenjot kepatuhan pajak hanya dalih. Pemerintah menurut dia, sebenarnya ingin mendongrak penerimaan pajak yang diperkirakan meleset di tahun ini.
Enny menilai kebijakan ini akan mirip dengan amnesti pajak yang dinilai meleset jauh dari tujuan semula dan beralih menyasar wajib pajak dalam negeri.
"Kami ingat kebijakan
tax amnesty yang awal tujuannya untuk repatriasi. Tapi justru yang menjadi objek pajak adalah dana-dana yang ada di doemstik. Kalau kita lihat, Perppu ini juga arahnya ke sana," imbuh Enny.
Sebagai informasi, amnesti pajak pada Juli 2017 lalu, mulai dilaksanakan pemerintah dengan target utama pengungkapan harta Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di luar negeri. Amnesti pajak diharapkan membuat mereka mengembalikan dananya dalam negeri atau repatriasi.
Tak tanggung-tanggung, pemerintah bahkan memasang target dana repatriasi sebesar Rp1.000 triliun. Sayangnya, setelah sembilan bulan berjalan hingga 31 Maret 2017 lalu, kantong repatriasi yang terisi hanya Rp146 triliun. Pada periode kedua dan ketiga, sasaran utama pemerintah berubah haluan ke kalangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
"Jadi, ini harus konsisten bahwa Perppu bukan untuk mengejar target (penerimaan dari domestik), harus konsisten tertulis karena ini menyangkut transparansi," tekan Enny.
Sementara itu, ekonom Indef lainnya, Eko Listiyanto melihat, perubahan batas saldo minimum mencerminkan ketidakmatangan pemerintah dalam membuat landasan hukum. Padahal sistem yang akan dipertanggungjawabkan tersebut merupakan sistem yang berlaku internasional.
"Bahkan baru menetapkan saldo saja, sudah berubah-ubah. Kebijakan ini belum matang dan menjadi pelajaran bagi pemerintah," celetuk Eko.
Untuk itu, pemerintah diminta mengkaji lebih dalam lagi terkait seluruh aturan main yang tertuang dalam Perppu dan PMK. Kemudian, tak hanya secara tertulis, pemerintah diminta untuk turut memperhatikan dengan benar implementasi hingga dampaknya ke perekonomian masyarakat.