Jakarta, CNN Indonesia -- Revisi batas minimum saldo rekening yang dapat diakses Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dari Rp 200 juta menjadi Rp1 miliar dinilai berpotensi menciptakan penarikan dana secara massal dari perbankan
(rush money).Ekonom Indef Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan, potensi
rush money tersebut berasal dari ketidakpercayaan masyarakat karena kebijakan pemerintah tak konsisten dan tak memberikan kepastian, sehingga masyarakat enggan berlama-lama menyimpan uangnya di perbankan.
"Iya (berpotensi
rush money). Makanya, pemerintah harus antisipasi secara serius terhadap gangguan likuiditas tersebut, agar bisa dicegah," ujar Bhima kepada CNNIndonesia.com, Kamis (8/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Bila
rush money terjadi, Bhima melihat ada dua potensi yang akan terjadi.
Pertama, nasabah menarik dana di perbankan dan mengalihkannya ke aset non-bank.
Kedua, nasabah menarik dana di perbankan dan mengalihkannya ke perbankan luar negeri.
Saat keduanya terjadi, tentu kecemasan akan mengarah pada jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) perbankan, yang dipastikan akan menyusut drastis dan mengganggu likuiditas perbankan.
Jika dana mengalir ke perbankan luar negeri, jerih payah yang dilakukan pemerintah untuk mengembalikan harta Warga Negara Indonesia (WNI) di luar negeri melalui repatriasi program pengampunan pajak
(tax amnesty) menjadi percuma.
"Ini kontraproduktif terhadap
tax amnesty di mana uang yang sudah diusahakan masuk ke Indonesia, nanti bisa keluar lagi," jelas Bhima.
Ekonom Indef Eko Listiyanto menilai, dampak terburuk dari inkonsistensi kebijakan pemerintah dalam membuat aturan main pelaksanaan sistem keterbukaan dan akses pertukaran informasi
(Automatic Exchange of Information/AEoI) adalah menyusutkan DPK.
Penyusutan DPK, menurut dia, terutama akan berdampak besar pada bank kecil. Pasalnya, kemampuan bank kecil memitigasi likuiditas tak sebaik bank besar.
"Laju DPK sebetulnya sudah di atas kredit, tapi ini hanya terjadi di bank besar, bank kecil sedang gonjang-ganjing. Ini terlihat dari PUAB (Pasar Uang Antar Bank/PUB) yang suku bunganya melambung," jelas Eko.
Lambatnya DPK diperkirakan akan memperlambat pertumbuhan kredit dan menghambat ekonomi. Adapun, berdasarkan data BI, hingga Mei 2017, pertumbuhan kredit perbankan mengalami perbaikan ke angka 9,8 persen, dari sebelumnya sebesar 9,4 persen pada April 2017.
Dengan sentimen kebijakan AEoI ini, Eko pun memproyeksi pertumbuhan kredit sampai akhir tahun hanya sekitar 9,0 persen.
Eko memperkirakan, target pertumbuhan ekonomi tak akan tercapai maksimal pada tahun ini. Tahun ini, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1 persen. Pencapaian target pertumbuhan ekonomi akan semakin sulit jika pemerintah hendak merevisi target menjadi sekitar 5,3 persen.
"Pertumbuhan ekonomi kalau mau 5 persen-an, ya (pertumbuhan) kredit harus 10 persen. Tapi kalau laju (kredit) tertahan dan DPK tertahan, itu terbilang muluk untuk bicara pertumbuhan ekonomi 5 persen ke atas," terangnya.
Anggota Badan Anggaran DPR RI John Kenedy Azis sebelumnya juga mengaku, khawatir kebijakan tersebut akan menimbulkan perpindahan dana. Terlebih ketika pemerintah masih menetapkan saldo minimal nasabah yang dapat dibuka datanya sebesar Rp200 juta.
“Dari sisi mudaratnya, akan banyak
capital flight atau akan semakin banyak uang menumpuk di bawah bantal,” kata politikus Partai Golkar itu.
Sementara itu, Anggota Komisi XI Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ecky Awal Mucharam menilai, batas saldo minimal senilai Rp1 miliar lebih masuk akal jika dibandingkan dengan besaran sebelumnya yang hanya Rp200 juta.
"Satu miliar itu masuk akal, karena itu simpanan. Jadi logikanya kalau ada Wajib Pajak (WP) yang sampai Rp1 miliar itu tidak dilaporkan dalam tax amnesty kan kebangetan, tapi kalau hanya rekening isinya Rp200 juta tapi tidak dilaporkan dalam tax amnesty bisa saja karena kelupaan, jadi tidak seharusnya diperiksa," tutur Ecky.
Batasan nilai Rp200 juta sebelumnya telah meresahkan masyarakat kecil terutama para pengusaha Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). "UMKM saja yang namanya KUR itu plafonnya (hingga) Rp 500 juta, berarti kalau dia terima KUR Rp500 juta berarti langsung otomatis dia diperiksa pajak," jelasnya.
Ia berharap, pemerintah dapat fokus mengejar wajib pajak yang memiliki pendapatan dan saldo rekening besar. "Keputusan ini memang melegakan. Tapi, sebaiknya pemerintah lebih cermat menyusun aturan agar tidak memicu kegaduhan di awal," jelasnya.