Jakarta, CNN Indonesia -- Pemerintahan Presiden Joko Widodo tak main-main dengan indeks kemudahan berbisnis. Selama hampir tiga tahun terakhir, perbaikan peringkat kemudahan berbisnis atau yang biasa disebut
Ease of Doing Business (EODB) menjadi kiblat kebijakan ekonomi Indonesia.
Ease of Doing Business (EODB) adalah survei tahunan yang dilaksanakan Bank Dunia yang mencerminkan daya tarik investasi dari segi kebijakan pemerintah. Supaya dianggap sebagai tempat yang paling nyaman investasi, Indonesia harus bersaing dengan 190 negara lainnya. Tak heran, pemerintah jor-joran mempercantik ladang berbisnis di Indonesia.
Mulai dari deregulasi kebijakan, permudahan perizinan investasi melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), hingga paket kebijakan berjilid-jilid. Semua upaya ini diharapkan ampuh mendongkrak peringkat kemudahan berbisnis Indonesia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun, kenyataannya, paket kebijakan berjilid-jilid milik pemerintah hanya mampu membawa peringkat Indonesia loncat ke posisi 91 dari 114 dalam dua tahun terakhir.
 Presiden Joko Widodo saat meninjau salah satu proyek infrastruktur. (ANTARA FOTO/Sahrul Manda Tikupadang). |
Jokowi
ngebet ingin membawa Indonesia masuk ke peringkat 40 besar dunia sebagai negara dengan kemudahan berinvestasi dalam dua tahun ke depan. Sebuah langkah yang cukup ambisius, karena berarti Indonesia perlu menginjak pedal gas lebih kencang mengejar 20 peringkat per tahun demi merealisasikan target tersebut.
Kepala BKPM Thomas Lembong mengatakan, pemerintah tentu senang dengan kenaikan peringkat beberapa tahun terakhir. Namun, bukan berarti pemerintah puas akan hal tersebut.
Ia menyadari, ada beberapa hal yang perlu diperbaiki, utamanya menyangkut penyelesaian sengketa bisnis dan memulai usaha. Karena dari 10 indikator indeks kemudahan berusaha, dua poin itu dinilai menjadi penghalang bagi laju peringkat Indonesia.
Adapun, indeks EODB memiliki 10 indikator, yakni
starting a business,
dealing with construction permits,
getting electricity,
registering property,
paying taxes,
trading across borders,
getting credit,
protecting minority investors,
enforcing contracts, dan r
esolving insolvency.
Penyelesaian sengketa bisnis masuk ke dalam komponen
enforcing contract yang saat ini berada di peringkat 166 dari 191 negara. Sementara, kemudahan memulai usaha menjadi bagian dari indikator
starting a business, di mana saat ini posisi Indonesia masih bertengger di angka 151.
"Saya kira, untuk tahun ini peringkat Indonesia bisa meningkat. Namun, untuk tembus top 40 (40 teratas) rasanya belum. Belum ada loncatan yang begitu signifikan," ujar Thomas belum lama ini.
Meski demikian, pemerintah mengaku siap untuk melakukan survei EODB tahun ini. Pemerintah telah mendapatkan wejangan dari Bank Dunia terkait aspek yang sekiranya bisa diperbaiki. "Kami siap, Bank Dunia sudah bertemu tim gabungan Indonesia dipimpin oleh Menteri Koordinator bidang Perekonomian," jelasnya.
Setali tiga uang, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan bahwa Indonesia masih harus menempuh jalan panjang agar masuk 40 besar peringkat kemudahan usaha dunia. Menurutnya, ada tiga indikator EODB yang perlu dibenahi, yaitu
dealing with construction permit,
enforcing contracts, dan
protecting minority investors.
Biang keladi yang merusak tiga indikator tersebut adalah minimnya partisipasi daerah dalam mengikuti kebijakan pusat. Ia mencontohkan, masalah persengketaan bisnis yang masih lama di daerah, serta lamanya penyelesaian kasus-kasus investasi bodong di pengadilan. Tak cuma itu, ia juga menyayangkan lamanya periode perizinan usaha di Jakarta dan Surabaya yang menjadi lokus utama survei EODB.
"Saat ini, perizinan di Jakarta waktunya 17,5 hari lebih lama dari Manado dan Surabaya. Khusus untuk perizinan bangunan, di Jakarta butuh 42 hari, sementara di Makasar dan Manado masing-masing hanya 33 dan 31 hari. Ini bukti di tempat yang jadi survei EODB, justru perizinan lebih lama dari daerah," terang Bhima.
Meski berat, ia menganggap, survei EODB penting bagi investor yang baru akan masuk ke Indonesia untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi investasi riil di dalam negeri. Ia juga berpendapat bahwa survei EODB juga sama pentingnya dengan pemeringkatan investasi dari lembaga-lembaga internasional, seperti Moody's, Standard and Poor, dan Fitch Rating.
"Kemudahan berbisnis memang satu bagian kecil dari peringkat daya saing," katanya.
Pelaku dunia usaha menyambut baik segala upaya yang dilakukan pemerintah demi memperbaiki indeks kemudahan berbisnis. Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan P Roeslani, salah satunya yang mengklaim mengacungkan jempol untuk penyelesaian masalah infrastruktur dan ketenagalistrikan. Dua sektor ini dianggap sebagai sarana penting dalam berinvestasi.
 Presiden Joko Widodo dalam IORA Summit 2017 bersama sejumlah menteri dan para pelaku usaha. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean). |
Ia optimistis, peringkat Indonesia akan mencuat lebih baik lagi, seiring dengan upaya perbaikan yang dilakukan pemerintah. "Sebenarnya, sudah cukup banyak apa yang dilakukan pemerintah, karena tahun kemarin lompatannya sangat signifikan. Target dari pemerintah kan di nomor 40, tapi kami tidak berani kasih prediksi. Yang jelas akan membaik," tutur Rosan.
Secara keseluruhan, Rosan menilai, pemerintah telah sangat serius membenahi indeks kemudahan berbisnis. Hal ini tercermin dari diskusi antara Kadin dan pemerintah yang terus menerus mengidentifikasi faktor-faktor penghambat kemudahan berbisnis di dalam negeri.
"Kami selalu coba melihat mana saja indikator yang sedianya masih rendah dan bisa ditingkatkan lagi," ungkapnya.
Menuju 40 besar negara dengan kemudahan berbisnis memang membutuhkan upaya yang luar biasa. Namun, keberhasilan upaya pemerintah akan tercermin ketika Bank Dunia merilis hasil survei di kuartal III mendatang.