Jakarta, CNN Indonesia -- Ketidakpastian tentang rencana kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (The Federal Reserve) membuat pelaku pasar bersikap
wait and see dan makin selektif dalam berburu saham. Alhasil, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bergerak terbatas sejak pekan lalu.
Pelaku pasar cenderung menghindari saham-saham berkapitalisasi besar (
big caps) karena pergerakannya yang sempit, sehingga potensi keuntungan (
capital gain) relatif
imut-imut. Namun, kondisi ini justru membawa berkah tersendiri bagi saham-saham lapis kedua yang bakal menjadi pelarian pelaku pasar dalam memarkirkan dananya.
Tengoklah, pergerakan saham lapis kedua lebih leluasa dibandingkan dengan saham-saham
big caps. Terlebih lagi, harganya yang relatif murah akan menggugah selera pelaku pasar untuk mengonsumsi saham-saham
second liner tersebut.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau dilihat, banyak pelaku pasar yang mulai mengurangi posisinya di saham berkapitalisasi besar. Pelaku pasar lebih memilih saham lapis kedua,
turnover-nya lebih tinggi," ungkap Analis Binaartha Securities Reza Priyambada kepada
CNNIndonesia.com, kemarin.
Keluarnya sebagian pelaku pasar dari saham berkapitalisasi besar membuat beberapa harga saham emiten tersebut terkoreksi. Sebagai gambaran, berdasarkan pergerakan harga saham periode 29 Mei - 13 Juni 2017, saham PT Chandra Asri Petrochemical Tbk (TPIA) turun tajam hingga 6,07 persen.
 Ilustrasi transaksi saham. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Diikuti oleh PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) yang turun 4,23 persen, PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) juga melorot 3,68 persen, serta PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (TLKM) turun tipis 0,68 persen.
Meskipun banyak pelaku pasar yang masuk ke saham lapis kedua untuk mendapatkan marjin keuntungan lebih tinggi, sambung dia, keuntungan yang akan diraih pelaku pasar cenderung tipis apabila dibandingkan dengan keuntungan yang biasanya mereka raih dari saham emiten berkapitalisasi besar.
“Contoh, PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA) dibanding dengan PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR). Kalau lagi untung, maka saham Unilever kasih lebih banyak keuntungan daripada saham Tiga Pilar. Tetapi kalau turun, ruginya juga lebih banyak," tutur Reza.
Analis Oso Securities Riska Afriani menilai, kondisi ini dimanfaatkan untuk perdagangan harian atau transaksi jangka pendek. Namun demikian, bukan berarti tidak bisa digunakan untuk investasi jangka menengah atau panjang. Hanya saja, hal itu perlu diteliti lagi kondisi fundamental per emiten dari saham-saham tersebut.
"Tetapi, kalau untuk kondisi saat ini, para
trader lebih memanfaatkan saham tersebut sebatas untuk trading harian saja," kata Riska.
Lebih lanjut ia memaparkan, beberapa saham lapis kedua yang tengah menjadi incaran pelaku pasar, antara lain PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk (AMRT), PT Ciputra Development Tbk (CTRA), PT Pembangunan Perumahan Tbk (PTPP), PT Pakuwon Jati Tbk (PWON), termasuk PT Waskita Beton Precast Tbk (WSBP), serta PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA).
Menurut Riska, kelimanya masih akan menarik untuk dikonsumsi hingga akhir pekan ini karena harga sahamnya masih
undervalue. Artinya, harga saham lima emiten tersebut lebih rendah ketimbang harga wajarnya atau nilai fundamental saham tersebut.
 Bursa Efek Indonesia. (CNN Indonesia/Hesti Rika Pratiwi) |
Hal itu tercermin melalui valuasi
price earning to ratio (PER) dari tiap saham. Umumnya, PER dapat menjadi salah satu patokan pelaku pasar untuk menentukan harga wajar saham suatu emiten.
"Saham itu bisa untuk pekan ini ataupun jangka panjang, harganya masih
undervalue," jelasnya.
Adapun, ia merinci, valuasi PER Sumber Alfaria sebesar 82,86 kali, Ciputra Development 23,83 kali, Pembangunan Perumahan 36,79 kali, Pakuwon Jati 20,86 kali, Waskita Beton 16,13 kali, dan Japfa Comfeed sebesar 42,19 kali.
"Untuk beberapa saham secara PER sudah cukup tinggi, tetapi penilaian wajar atas saham mereka masih lebih tinggi dibandingkan harga saat ini," ujarnya.
Namun, selain mengamati PER, kondisi fundamental tiap emiten juga menjadi pertimbangan lain pelaku pasar dalam memilih saham emiten lapis kedua.
Selanjutnya, Reza menilai saham lapis kedua lainnya yang juga menarik untuk pelaku pasar saat ini, yaitu PT Trada Maritime Tbk (TRAM), PT Cahayasakti Investindo Sukses Tbk (CSIS), PT Bumi Resources Tbk (BUMI), dan PT Mitra Keluarga Karyasehat Tbk (MIKA).
Kepala Riset Koneksi Kapital Alfred Nainggolan menyebut, emiten lapis kedua masih menjadi incaran pelaku pasar karena memiliki PER dibawah lima kali dan price to book value (PBV) dibawah satu kali.
Ia mencontohkan, beberapa emiten yang masuk dalam kriteria tersebut, yaitu PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk (INKP), PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL), PT Soechi Lines Tbk (SOCI), dan Bumi Resources. "Jadi, pelaku pasar sembari menunggu rilis The Fed, mereka main dengan angka relatif kecil. Kemudian, tingkat likuiditas yang ramai jadi pertimbangan," terang Alfred.
Menanti Keputusan The Fed Saat ini, Alfred menuturkan, tingkat probabilitas kenaikan suku bunga The Fed sudah di atas 70 persen. Hal itu mengartikan kemungkinan yang begitu tinggi dari realisasi The Fed dalam menaikkan tingkat suku bunganya bulan ini juga.
Beberapa kondisi fundamental ekonomi AS sendiri boleh dibilang mendukung untuk kenaikan suku bunga acuan tersebut. Contoh, mata uang dolar AS yang tidak begitu kuat dan data pengangguran AS yang menurun.
"Yang menjadi pegangan untuk menaikkan suku bunga sudah mendukung. Tapi kecuali kalau tidak jadi bulan ini mungkin karena faktor politik," kata Alfred.
The Fed dikabarkan akan memberikan pengumuman pada 15 Juni nanti dan akan berpengaruh langsung pada pergerakan pasar modal dalam negeri. Jika memang dinaikkan, maka akan terjadi koreksi di pasar. Selain itu, ada potensi dana asing keluar (
capital outflow) karena asing lebih memilih untuk menukar portofolio investasinya dengan dolar AS.
"Itu hanya efek jangka pendek. Tapi kalau kenaikannya ditunda, maka pasar akan stabil. Artinya, kembali melanjutkan tren kenaikan," imbuh Alfred.
Dengan demikian, pelaku pasar dapat kembali pada saham berkapitalisasi besar demi mencari keuntungan. Toh, tingkat volatilitas indeks akan kembali normal setelah ada kepastian dari The Fed.
Sekadar informasi, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan pada rapat terakhirnya 15 Maret 2017 sebesar 25 basis poin menjadi 0,75-1 persen. Kali ini, Alfred menduga, The Fed akan menaikkan kembali suku bunga acuan sebesar 25 basis poin.