Jakarta, CNN Indonesia -- Bank Indonesia (BI) menilai kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau The Federal Funds Rate (FFR) tahun ini tidak akan memberikan tekanan berarti pada suku bunga perbankan, baik simpanan maupun kredit.
Pasalnya, kenaikan tersebut telah diprediksi oleh pelaku pasar karena kebijakan itu terus dikomunikasikan oleh bank sentral AS (The Federal Reserve/ The Fed).
Asisten Gubernur Kepala Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Dody Budi Waluyo mengungkapkan tren suku bunga perbankan domestik lebih dipengaruhi oleh kondisi likuiditas di pasar dan perkembangan perekonomian domestik.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Dody, selama posisi likuditas cukup banyak dan tidak ada persepsi negatif terhadap perekonomian domestik, bank-bank tidak akan bersaing untuk menaikkan suku bunga simpanan.
Pada akhir kuartal I 2017, rasio pinjaman terhadap simpanan (
Loan to Deposit Ratio/ LDR) bank umum relatif terjaga di kisaran 89,12 persen.
"Sepanjang likuiditas merata antar bank maka ada suku bunga deposito antar bank cenderung akan sama sehingga tidak ada perlombaan antar bank untuk menaikkan suku bunga," jelas Dody di Gedung Thamrin BI, Kamis (15/6).
Untuk bunga kredit, lanjut Dody, sepanjang tekanan kepada inflasi masih bisa diatasi dan nilai tukar relatif stabil kemudian kebutuhan pendanaan tidak mengalami lonjakan berarti, suku bunga kredit tidak akan mengalami perubahan yang signifikan.
Seiring dengan pemangkasan suku bunga acuan BI-7Days Reverse Repo Rate (BI-7DRRR), sejak tahun lalu suku bunga simpanan dan kredit terus mengalami penurunan.
 Bank Indonesia. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
BI mencatat, sejak Januari 2016 hingga Mei 2017, rata-rata suku bunga kredit telah turun 100 basis poin menjadi 11,83 persen. Sementara, suku bunga deposito turun pada periode yang sama turun lebih cepat sebesar 139 basis poin.
"Jadi, tren daripada penurunan suku bunga baik Dana Pihak Ketiga dan kredit masih berlangsung," jelas Dody.
Lebih lanjut, BI selama tidak ada kejutan yang mengganggu sasaran inflasi empat plus minus satu persen, juga BI tetap akan mengambil posisi (stance) netral. Karenanya, BI memutuskan untuk mempertahankan BI-7DRRR Juni tetap di level 4,75 persen.
"Suku bunga [BI-7DRRR] yang dipertahankan 4,75 persen pada hari adalah posisi suku bunga yang kami anggap bisa mencapai sasaran inflasi kami di empat plus minus satu persen," jelasnya.
Namun, BI tetap memperhatikan perkembangan risiko domestik salah satunya yang berasal dari tekanan kepada inflasi maupun risiko ekternal yang berasal dari kebijakan moneter dan fiskal AS, perkembangan ekonomi China, dan kondisi geopolitik di Uni Eropa.
Penilaian BI terhadap perkembangan suku bunga perbankan terkonfirmasi oleh bankir. Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja menilai kenaikan FFR, terutama bulan ini, memang telah diprediksi oleh perusahaan sehingga dampaknya tak signifikan mendorong kenaikan suku bunga kredit.
"Kami selama ini sudah menurunkan bunga kredit dan belum pernah menaikkan lagi untuk yang korporasi. Untuk KPR sudah sudah banyak yang diberikan single digit selama tiga bulan promosi sebesar 6 persen," ujar Jahja kemarin.
Dalam kesempatan berbeda, Jahja juga memperkirakan suku bunga deposito baru akan naik pada September-Desember. Hal itu, seiring dengan pola tahunan kebutuhan likuditas yang cenderung meningkat pada paruh kedua setiap tahunnya.
Senada dengan Jahja, Direktur Utama PT Bank Bukopin Tbk Glen Glenardi juga menyatakan belum ada rencana kenaikan suku bunga kredit dan deposito perseroan.
"Likuiditas dalam kondisi baik dan belum ada rencana menaikkan suku bunga," kata Glen.
Alasan Bunga Kredit Masih TinggiTerkait masih tingginya bunga kredit di bandingkan bunga deposito, Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI menambahkan, penyebabnya ada beberapa hal. Pertama, marjin bunga bersih (NIM) di Indonesia masih relatif tinggi.
Tirta menduga hal itu terjadi karena bank menyesuaikan dengan tingkat risiko yang tercermin dari rasio kredit bermasalah (NPL). Untuk tetap menjaga kualitas kredit, perbankan akhirnya melakukan restrukturisasi.
"Masih ada beberapa bank yang melakukan restrukturisasi atau konsolidasi yang mungkin NIM-nya masih cukup tinggi sehingga itu yang menyebabkan suku bunga kredit hingga saat ini masih double digit meskipun bunga depositonya sudah turun satu digit," jelas Tirta.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Maret 2017, NIM bank umum konvensional ada di level 5,38 persen atau turun dari posisi Maret 2016 yang sebesar 5,5 persen. Sementara, rasio NPL kotor (
gross) pada periode yang sama ada di kisaran 3,04 persen.