Diproyeksi Terus Naik, Harga Gas Jadi Ancaman Tarif Listrik

CNN Indonesia
Jumat, 14 Jul 2017 01:38 WIB
Kenaikan harga gas diproyeksi akan terjadi seiring menanjaknya biaya produksi gas akibat umur lapangan gas yang semakin tua.
Pembangkit listrik tenaga gas rencananya akan mengambil porsi 26,7 persen dari bauran energi (energy mix) di tahun 2026. (CNN Indonesia/Galih Gumelar)
Jakarta, CNN Indonesia -- Lembaga riset energi internasional, Wood Mackenzie mengatakan harga gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) di masa depan diperkirakan akan terus menanjak. Kondisi tersebut dikhawatirkan bisa menjadi hambatan bagi penyediaan tenaga listrik yang menggunakan tenaga gas.

Senior Expert Gas and Power Wood Mackenzie Edi Saputra mengatakan, menanjaknya biaya produksi gas disebabkan oleh umur lapangan yang semakin tua (brownfield). Ia beralasan, semakin tua lapangan, maka biaya operasional yang dibutuhkan juga semakin besar.

"Harga kontrak LNG di masa depan akan semakin menjadi tantangan karena sebagian besar masih bergantung pada brownfield project. Itu pun, termasuk pengembangan gas domestik yang berada di Indonesia," ujar Edi di Jakarta Convention Center (JCC), Kamis (13/7).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Selain karena lapangan tua, harga LNG yang meningkat juga disebabkan oleh semakin susahnya mencari tingkat keekonomian bagi lapangan gas baru (greenfield) seiring anjloknya harga minyak dunia.

Semakin kecil harga minyak, maka ongkos produksi semakin tidak efisien, sehingga produsen mau tak mau harus meningkatkan harga jual gasnya.

Dalam hal ini, ia mencontohkan produksi LNG dari proyek Masela, Indonesian Deepwater Development (IDD), Sengkang, dan Muara Bakau yang diperkirakan baru akan ekonomis jika harga minyak berada di atas US$80 per barel.

"Meski belakangan ini harga LNG turun dari 13,9 persen dari harga minyak di tahun 2010 ke angka 11,5 persen di tahun ini, kami perkirakan tren ini akan berbalik arah ke depannya," paparnya.

Kondisi ini, lanjutnya, bisa menjadi hambatan bagi penyediaan tenaga listrik yang menggunakan tenaga gas. Jika harga gasnya mahal, maka tarif listrik pun juga tidak menjadi efisien. Apalagi, kontribusi pembangkit gas terhadap kapasitas pembangkit di masa depan juga tidak sedikit.
Menurut Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) PLN 2017 hingga 2026, bauran energi dari gas akan meningkat dari posisi saat ini 25,8 persen ke angka 26,7 persen dengan tambahan pembangkit 24,4 Gigawatt (GW) dalam 10 tahun mendatang.

"Menyadari hal itu, dibutuhkan regulasi harga yang memastikan bahwa pasokan LNG bagi pembangkit bisa tetap aman. Kalau harga gasnya mahal, tentu saja pembangkit tak mau menyerap," ujarnya.

Pemerintah menurut dia, perlu merevisi ketentuan harga gas bagi pembangkit sesuai Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Nomor 11 Tahun 2017.

Dalam aturan itu, pemerintah menetapkan harga batas atas LNG domestik dan impor (ceiling price) sebesar 11,5 persen dari harga minyak mentah Indonesia (Indonesian Crude Price/ICP).

Menurut Edi, penetapan ceiling price tentu akan menghalangi suplai LNG ke pembangkit. Pasalnya, tidak ada produsen yang mau menyalurkan gasnya kalau harganya terlalu murah. Maka dari itu, ia meminta pemerintah untuk mengganti sistem ceiling price dengan sistem lelang LNG dengan mencari harga yang kompetitif.

"Pemerintah bisa menggunakan tender, tidak perlu digunakan ceiling price yang begitu restriktif. Pemerintah harus realistis, memang ada permintaan, tapi kalau aturannya terlalu restriktif, maka yang ada jadinya supply scarcity," ujar Edi.
Sebagai informasi, pembangkit listrik tenaga gas rencananya akan mengambil porsi 26,7 persen dari bauran energi (energy mix) di tahun 2026 sesuai RUPTL.

Oleh karenanya, Indonesia membutuhkan gas sebanyak 1.193 Trilion British Thermal Unit (TBTU) atau tiga kali lipat dibanding tahun 2016 sebanyak 606,5 TBTU. Dari jumlah tersebut, sebanyak 851 TBTU, atau 71,33 persen dari kebutuhan gas bagi pembangkit akan disediakan dari LNG.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER