Jakarta, CNN Indonesia -- Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) mendesak pemerintah untuk mencabut aturan terkait relaksasi ekspor yang tertuang dalam Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017 dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017.
Wakil Ketua AP3I Jonatan Handojo mengungkapkan, pembatalan aturan main ekspor itu satu-satunya jalan yang bisa menyelamatkan industri smelter dari keterpurukan.
Asal tahu, sejak aturan relaksasi ekspor meluncur awal tahun ini, sebanyak 23 dari 25 perusahaan smelter sekarat. Bahkan, 11 smelter di antaranya terpaksa gulung tikar. "Kuncinya cuma satu, cabut Permen ESDM Nomor 5 dan 6 Tahun 2017," ujarnya kepada CNNIndonesia, Kamis (20/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Itu artinya, saat ini, cuma dua perusahaan smelter yang masih beroperasi dengan baik. Maklum, harga nikel terus terperosok sejak relaksasi ekspor meluncur. Bahkan, Harga Pokok Produksi (HPP) nikel lebih tinggi dibanding harga jualnya. Pelaku usaha terpaksa menelan kerugian.
Selain itu, sejumlah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) masih harap-harap cemas menanti hasil uji materiil tiga aturan pemerintah terkait usaha mineral dan batu bara (minerba) ke Mahkamah Agung (MA). Upaya hukum ini sudah diajukan sejak 30 Maret 2017 lalu.
Tim Kuasa Hukum Koalisi Bisman Bakhtiar mengaku bahwa koalisi tiap hari memeriksa situs MA untuk melihat tingkat kemajuan (progress) uji materiil tersebut. Pasalnya, proses uji materiil di MA dan MK terbilang berbeda, sehingga koalisi hanya bisa menunggu.
"Uji materi di MA ini seperti
blackbox (kotak hitam). Artinya, kami pantau terus di
web (situs) MA, sehingga sampai sekarang gugatan kami belum ada putusan," tutur Bisman.
Sekadar informasi, KMS meminta MA untuk menguji tiga peraturan. Yakni, Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 5 Tahun 2017, dan Permen ESDM Nomor 6 Tahun 2017.
Diharapkan, gugatan ini bisa dimenangkan karena tiga peraturan terkait sudah jelas-jelas bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).
Beberapa poin utama yang digugat di dalam beleid tersebut,
pertama, terkait pemberian kelonggaran ekspor dalam jangka waktu lima tahun mendatang. Hal ini dinilai bertentangan dengan pasal 170 UU Minerba, di mana fasilitas pemurnian harus dilakukan lima tahun setelah UU Minerba diundangkan atau berarti pada 2014 silam.
Ketentuan ini diperkuat oleh keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PUU-VIII/2014 yang mengatakan bahwa ekspor mineral yang belum diolah dan dimurnikan tidak boleh diekspor.
Kedua, mengenai mekanisme perubahan status Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang terkesan mengabaikan sistem yang berlaku. Seharusnya, lanjut Bisman, rangkaian perubahan tersebut bermula dari status wilayah cadangan negara, di mana hal itu ditetapkan terlebih dahulu oleh DPR dan selanjutnya diubah menjadi wilayah pertambangan khusus (WPK).
Bila telah berubah menjadi IUPK, maka seharusnya pemerintah menawarkannya terlebih dahulu kepada perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan kemudian ditawarkan kepada perusahaan swasta dalam tahapan lelang.
Ketiga, yaitu pelonggaran ekspor minerba yang diberikan kepada perusahaan yang telah berstatus IUPK. Padahal, pemerintah seharusnya tidak lagi memberi izin ekspor minerba kepada perusahaan tambang yang tak kunjung membangun smelter.
"Ini luar biasa berubahnya implementasi hukum di Indonesia. Apalagi, yang lebih ngeri adalah sebagian peraturan ini diatur di dalam Permen, kan ini kacau. Negara ini semuanya diatur dalam Permen," imbuhnya.