Jakarta, CNN Indonesia -- Komisi XI DPR meminta pemerintah segera menerbitkan aturan tambahan yang memuat jaminan hukum atas wewenang Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) dalam mengakses keterbukaan dan pertukaran informasi data nasabah secara otomatis (
Automatic Exchange of Information/AEoI).
Aturan tersebut diharapkan mampu menyempurnakan butir-butir aturan yang tela dituangkan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan, yang baru saja diterima Komisi XI DPR dan akan dibawa ke Rapat Paripurna pada Kamis mendatang (27/7).
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) I Gusti Agung Rai Wirahaya mengatakan, jaminan hukum atas wewenang DJP dalam mengakses AEoI sangat diperlukan sebagai perlindungan kepada nasabah lembaga jasa keuangan bahwa data keuangannya tak akan disalahgunakan dan akan diakses dengan profesional.
"Jadi, harus ada jaminan data atas laporan untuk tidak digunakan di luar kepentingan perpajakan. Maka, fungsi pengawasan menjadi mutlak," ujar Wirahaya saat putusan mini fraksi, Senin malam (24/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Wirahaya, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Aditya Anugrah Moha melihat, jaminan atas wewenang DJP itu harus dipetakan secara spesifik mengenai tugas, fungsi, hingga sanksi yang dikenakan bila ada penyalahgunaan data yang dilakukan oleh DJP.
"Pemerintah harus utamakan
confidentiality dan
safeguard. Lalu, perlu pengawasan pada aparat pajak, perlu disusun SOP dalam pengawasan internal yang ketat dan sanksi berat kepada yang melanggar," kata Moha.
Adapun menurut Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Demokrat Tutik Kusuma Wardhani, aturan tambahan tersebut dapat dituangkan pemerintah melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang menjadi aturan teknis pelaksanaan AEoI di tahun depan.
"PMK sebagai petunjuk teknis, hendaknya didasari pada semangat kesepakatan AEoI untuk dipertukarkan dengan negara atau yurisdiksi lain," ucap Tutik.
Sementara, tak hanya kepada petugas DJP yang bisa mengakses data, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Refrizal melihat, sanksi hukum juga perlu lebih tegas lagi diberlakukan kepada lembaga jasa keuangan yang tak mengindahkan aturan ini ke depan.
Pasalnya, meski telah diatur dalam Perppu 1/2017, namun ketentuan hukum yang tegas tetap harus ditunjukkan dalam aturan teknis melalui PMK. "Denda di PMK hanya satu tahun penjara dan denda maksimal Rp500 juta. Kami ingin lima tahun penjara," tutur Refrizal.
Dengan sejumlah permintaan dari Komisi XI DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang turut hadir mendengarkan pandangan mini fraksi menegaskan pemerintah akan segera berbenah menyempurnakan aturan Perppu yang telah diundangkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sejak 8 Mei lalu dan menjadi syarat pelaksanaan AEoI tersebut.
"Kami akan lihat seluruh standar
confidentiality serta
safeguard tadi, sehingga tidak ada
double standart. Kami akan lihat kemampuan pelaksanaannya. Kalau diatur dalam PMK, saya rasa itu sangat bisa," kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, dalam penyempurnaan yang dituangkan dalam PMK tersebut, pemerintah akan berbenah mulai dari sisi kesiapan perangkat keras dan lunak, pembuatan bisnis prosedur, hingga memastikan siapa petugas DJP yang bisa mengakses data nasabah.
Di samping itu, mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu juga berjanji akan segera melakukan sosialisasi, baik secara internal maupun eksternal untuk memastikan reputasi DJP yang mendapat wewenang itu terpercaya dan tak disalahgunakan.
"Jadi, sosialisasi dulu internal dan eksternal, targetnya sangat spesifik, yaitu para lembaga jasa keuangan karena mereka yang melaksanakan, namun karena masyarakat juga punya persepsi, maka kami harus juga lakukan sosialisasi ke masyarakat agar ada ketenangan," pungkasnya.