Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2017 yang mengatur pelaksanaan sistem keterbukaan dan pertukaran informasi secara otomatis
(Automatic Exchange of Information/AEoI) tak lantas membuat petugas pajak dapat melakukan tindakan-tindakan yang dianggap mengintimidasi wajib pajak. Untuk itu, pihaknya antara lain akan membuat aturan terkait tata tertib bagi petugas pajak dalam melaksanakan Perppu tersebut.
"Memang ini kami juga harus mensosialisasikannya ke dalam, ke seluruh staf pajak. Ini supaya mereka (petugas pajak) tidak serta merta karena memiliki Perppu, datang ke wajib pajak untuk melakukan tindakan mengancam atau mengintimidasi," ujar Sri Mulyani di Istana Negara, Selasa (25/7).
Sri Mulyani pun mengaku akan segera menyelesaikan seluruh aturan pelaksana Perppu tersebut. Selain menerbitkan aturan terkait tata tertib bagi petugas pajak, pihaknya juga akan memastikan keamananan sistem dan data yang disyaratkan terkait pelaksanaan AEOI.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kami juga akan melihat di dalam RUU KUP (Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan) pembahasan dari dewan yang meminta untuk yang melanggar
confidentiality-nya bisa disamakan dengan UU amnesti pajak. Ini akan membuat pencegahan terhadap para aparat yang mungkin berpotensi untuk meng-abuse," terang dia.
Di sisi lain, Sri Mulyani juga mengaku akan mulai melakukan sosialisasi pada perbankan, pasar modal dan perusahaan jasa keuangan lainnya, serta masyarakat umum terkait aturan tersebut dalam waktu dekat.
Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Golongan Karya (Golkar) Aditya Anugrah Moha meminta pemerintah untuk mempercepat pembahasan UU KUP. Hal tersebut perlu dilakukan lantaran menjadi ketentuan hukum paling dasar di sektor perpajakan, sehingga diharapkan aturan main yang belum lengkap di Perppu 1/2017 dapat disempurnakan di dalam revisi UU KUP nanti.
Selain itu, bila Perppu berlaku nanti, ada sekitar lima UU yang dinyatakan tak berlaku sepanjang berlangsungnya sistem AEoI, di mana salah satunya ialah Pasal 35 ayat (2) dan Pasal 35A UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang KUP. Oleh karenanya sinkronisasi sangat dibutuhkan agar tak terjadi tumpang tindih aturan.
"Dengan berlakunya UU AEoI (nanti), pemerintah dan DPR harus segera merevisi UU yang tidak sejalan, yaitu UU Perbankan, UU Perbankan Syariah, UU Pasar Modal, UU Lembaga Keuangan Mikro, dan UU KUP," ujar Moha.
Selain UU KUP, pemerintah juga harus membentuk Nomor Identitas Tunggal (NIT). Jal ini penting dilakukan agar seluruh data nasabah, mulai dari yang menyatakan dirinya sebagai Warga Negara Indonesia dengan memiliki Nomor Identitas Kependudukan (NIK) pada Kartu Tanda Penduduk (KTP) hingga statusnya sebagai wajib pajak dengan memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dapat disinkronkan.
"Langkah berikutnya yang harus diterapkan pemerintah adalah melakukan integrasi NPWP dan NIK dalam bentuk sistem identitas tunggal," imbuh Moha.
Sementara, Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Refrizal melihat, percepatan pembahasan revisi UU KUP juga perlu dilakukan bukan hanya dari sisi kepentingan sinkronisasi dengan Perppu 1/2017, tetapi juga karena UU tersebut telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017.
Senada dengan DPR, pengamat perpajakan dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, revisi UU KUP harus segera dilakukan pemerintah dan DPR. "UU KUP ini yang memberi kepastian hukum, keadilan, sederhana, dan partisipatif," kata Yustinus kepada CNNIndonesia.com.
Sedangkan pembentukan NIT, dipercayai mampu mempermudah sistem AEoI lantaran dengan identitas tunggal, seluruh data nasabah akan mampu terdeteksi dan teranalisa dengan cepat dan akurat.
"Akurasi ini menjadi penting karena akan menjamin pemilahan wajib pajak dalam klasifikasi patuh, kurang patuh, dan 'bandel'. Sehingga seluruh proses penegakan hukum akan berjalan dengan selektif, terukur, tepat sasaran, dan pasti adil," pungkas Yustinus.
(agi)