Jakarta, CNN Indonesia -- Rapat Paripurna DPR RI menyetujui Rancangan Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (RAPBNP) 2017 menjadi UU untuk selanjutnya disahkan oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi). Dalam APBNP 2017, defisit anggaran ditetapkan sebesar 2,92 persen, tertinggi sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara yang membatasi defisit anggaran maksimal 3 persen.
"Apakah RUU APBNP 2017 bisa diterima menjadi UU? Bisa," ujar Agus Hermanto selaku Pimpinan Rapat Paripurna di Gedung DPR, Kamis (27/7).
Pada UU APBNP 2017, defisit anggaran ditetapkan sebesar Rp362,9 triliun atau sekitar 2,92 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan keseimbangan premier minus Rp144,3 triliun. Dengan angka defisit tersebut, pemerintah memproyeksi pembiayaan anggaran yang berasal dari utang mencapai Rp427 triliun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Defisit anggaran tersebut seiring penerimaan negara yang ditetapkan sebesar Rp1.714 triliun dari sebelumnya Rp1.750,3 triliun di APBN 2017. Proyeksi tersebut berasal dari target penerimaan perpajakan sebesar Rp1.472,7 triliun, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp260,24 triliun, dan penerimaan hibah Rp3,1 triliun.
Sedangkan dari sisi belanja negara diproyeksikan sebesar Rp2.077 triliun dari sebelumnya Rp2.080,5 triliun di APBN 2017. Secara rinci, alokasi belanja negara diperuntukkan bagi belanja Kementerian/Lembaga (K/L) sebesar Rp743,7 triliun, belanja non K/L Rp584 triliun, Transfer ke Daerah Rp691,1 triliun, dan Dana Desa Rp58,2 triliun.
Adapun dari sisi asumsi makro dalam APBNP 2017, pemerintah menetapkan asumsi makro, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2 persen, inflasi sebesar 4,3 persen, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) tiga bulan sebesar 5,2 persen, dan nilai tukar (kurs) rupiah sebesar Rp13.400 per dolar Amerika Serikat (AS).
Lalu, harga minyak mentah Indonesia
(Indonesia Crude Palm Oils/ICP) sebesar US$48 per barel, lifting minyak bumi sebesar 815 ribu barel per hari (bph), dan lifting gas sebesar 1,15 juta barel setara minyak per hari.
Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) melalui Anggota Komisi II DPR Yandri Susanto semopat mengajukan intrupsi. Ia mengingatkan pemerintahan Kabinet Kerja di bawah Presiden Jokowi agar konsisten dengan janji tak menggunakan utang.
"Waktu itu Presiden Jokowi menjanjikan tidak menggunakan utang tapi sekarang utang kita justru bertambah. Ini menurut saya, APBN harus dibuat lebih jujur lagi," kata Yandri.
Intrupsi juga disampaikan Fraksi Partai Gerindra melalui Anggota Komisi VI DPR Bambang Haryo Soekartono. Ia meminta pemerintah tak hanya menyusun APBN, namun bagaimana penggunaan APBN mampu sejalan dengan 14 jilid paket kebijakan yang diterbitkan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
"Pemerintah terbitkan 14 paket kebijakan? Tapi kita tidak tahu bagaimana hasil implementasinya? Tolong ini dijelaskan," ucap Bambang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyampaikan, pemerintah berterima kasih kepada jajaran dewan yang telah menyepakati kedua UU tersebut dan ke depan, pemerintah akan memperhatikan catatan-catatan yang diberikan oleh jajaran anggota dewan.
"Kesepakatan ini dilandasi semangat yang sama untuk dijaga dan merupakan bentuk kerja sama antara pemerintah dan dewan untuk menjaga APBN," tutur Sri Mulyani.
Selain menyetujui RAPBN 2017 menjadi Undang-Undang, Rapat Paripurna DPR juga menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Pembahasan dan Pertanggungjawaban (P2) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016.
Dalam UU P2 APBN 2016 yang berasal dari Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP), realisasi penerimaan negara mencapai Rp1.555,93 triliun atau sekitar 87,11 persen dari target awal sebesar Rp1.786,22 triliun. Lalu, belanja negara sebesar Rp1.864,27 triliun atau sekitar 89,5 persen dari target Rp2.082,94 triliun.
Adapun defisit anggaran sebesar Rp308,34 triliun atau sekitar 2,49 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu, Selisih lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA) tahun berjalan sebesar Rp26,16 triliun.
LKPP 2016 mendapat opini Wajar Tanpa Pengeculian (WTP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), setelah 12 tahun lamanya tak memperoleh opini WTP. Kendati begitu, masih ada beberapa K/L yang mendapat opini Wajar Dengan Pengeculian (WDP).