Sri Mulyani Tak Butuh Revisi Batas Defisit Anggaran

CNN Indonesia
Rabu, 12 Jul 2017 12:33 WIB
Hal ini seiring dengan yakinnya pemerintah untuk menjaga defisit anggaran di bawah 3 persen, sesuai ketentuan Undang-Undang.
Menteri Keuangan Sri Mulyani yakin pemerintah dapat menjaga defisit anggaran dibawah 3 persen sesuai ketentuan Undang-Undang. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Jakarta, CNN Indonesia -- Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menilai, batas defisit anggaran sebesar 3 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 2007 tentang Keuangan Negara tak perlu direvisi. Pasalnya, pemerintah dipastikan mampu menjaga defisit anggaran sesuai dengan ketentuan UU.

Dia menjelaskan, pemerintah dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (R-APBNP) 2017 memang mematok proyeksi defisit anggaran pada kisaran 2,67 persen sampai 2,92 persen dari PDB. Kendati mendekati batas maksimal 3 persen, dia menilai peluang pemerintah untuk mempersempit defisit anggaran masih terbuka lebar.

Hal ini, menurut dia, berasal dari proyeksi realisasi anggaran Kementerian/Lembaga (K/L) yang tak akan mencapai 100 persen, seperti tahun-tahun sebelumnya. Dengan demikian, alokasi belanja negara yang telah diproyeksikan bertambah di R-APBNP 2017 tak seluruhnya akan terpakai.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Contohnya belanja di Kemenkeu, belanjanya Rp40 triliun tapi yang benar-benar untuk Kemenkeu Rp22 triliun. Kalau bisa disisir beberapa tahun terakhir, ada belanja yang melonjak, setelah dilihat tidak bisa dieksekusi," ujar Sri Mulyani di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Selasa (11/7).

Sri Mulyani mengaku baru menambah sejumlah anggaran dalam APBN-P guna melihat lebih dulu realisasi penggunaan belanja K/L di semester I 2017. "Karena kalau dinaikkan dengan cepat (diproyeksikan sejak menyusun APBN) tapi tidak terdapat perencanaan yang matang, yang terjadi adalah APBN besar tapi penyerapannya tidak tinggi dan ini menyebabkan defisit besar tapi tidak tereksekusi," jelas Sri Mulyani.


Di sisi lain, dampak dari proyeksi belanja K/L tanpa mekanisme penambahan anggaran di APBNP, dapat membuat keuangan negara mendapat dua beban secara bersamaan. Pertama, meningkatnya utang untuk menutup proyeksi APBN. Kedua, K/L dan pemerintah daerah (pemda) dikhawatirkan tak melakukan tugasnya untuk melakukan penganggaran dengan baik dan berasas prioritas.

"Dengan adanya batasan 3 persen itu, akan memaksa pemerintah bersama pemda dan DPR menjaga suatu disiplin fiskal. Artinya, kalau ingin belanja lebih banyak maka pemerintah harus mampu mengumpulkan pajak lebih banyak, bukan melebarkan defisit saja," imbuhnya.

Disamping itu, revisi batasan defisit juga memakan waktu yang tak singkat lantaran harus melakukan perubahan pada Undang-Undang. Jika dilakukan, hal tersebut dikhawatirkan hanya menambah tugas dan menyita waktu pemerintah dan DPR, yang seharusnya dipergunakan untuk membahas hal-hal yang lebih krusial.

"Kalau mau revisi kan harus ada proses, tidak berarti ada wacana kemudian langsung terjadi," pungkas mantan direktur pelaksana Bank Dunia itu.


Sebelumnya, ide untuk merevisi batasan defisit anggaran 3 persen dalam UU dilontarkan oleh DPR lantaran defisit anggaran pemerintah terus meningkat dalam APBN, yang kemudian berujung pada penambahan utang pemerintah.

"Saat ini negara ingin banyak bangun infrastruktur, kenapa masih mematok defisit 3 persen? Mengapa tidak melebarkan defisit menjadi maksimal 5 persen untuk lima tahun misalnya?" terang Anggota Komisi XI DPR Andreas Edy Susetyo.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER