Jakarta, CNN Indonesia -- Perbankan nasional mengaku tertarik menempatkan kelebihan likuditasnya pada instrumen Surat Berharga Komersial (SBK) atau Commercial Paper (CP).
Sebelumnya, sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 19/9/PBI/2017 tentang Penerbitan dan Transaksi SBK di Pasar Uang, SBK merupakan surat berharga yang diterbitkan oleh korporasi non-bank berbentuk surat sanggup (
promissory note) dan berjangka waktu satu tahun yang terdaftar di BI.
Nilai minimal penerbitan SBK adalah Rp10 miliar jika dalam denominasi rupiah dan US$1 juta atau setara jika dalam denominasi valuta asing.
Panji Irawan, Direktur Treasury dan Internasional PT Bank Negara Indonesia (Persero), mengaku tertarik menempatkan kelebihan dana perseroan di instrumen SBK sebagai strategi untuk mendapatkan imbal hasil lebih tinggi (
yield enhancement).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Investasi bank pada
commercial papers menjadi salah satu pilihan strategi untuk
yield enhancement," ujar Panji kepada
CNNIndonesia.com pekan lalu.
Berdasarkan laporan keuangan perusahaan, per akhir Juni 2017, rasio pinjaman terhadap pendanaan (LFR) perseroan terjaga di kisaran 88,9 persen.
Selama ini, lanjut Panji, kelebihan likuiditas perseroan banyak ditempatkan pada instrumen keuangan BI, Pasar Uang Antar Bank (PUAB), sertifikat deposito (NCD), dan Surat Berhaga Negara (SBN).
Menurut Panji, imbal hasil SBK berpeluang lebih tinggi dibandingkan instrumen investasi jangka pendek lain, misalnya dibandingkan dengan instrumen di PUAB.
Namun demikian, perseroan tidak akan sembarangan dalam membeli instrumen SBK. Korporasi penerbit harus memenuhi beberapa syarat diantaranya korporasi penerbit telah mengantongi predikat layak investasi dan memiliki prospek bisnis serta rekam jejak keuangan yang bagus.
Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BCA) Jahja Setiaatmadja menyatakan juga tertarik pada SBK sebagai alternatif penempatan kelebihan likuiditas. Dengan catatan, korporasi penerbit SBK memiliki kredibilitas yang baik setelah sebelumnya dilakukan analisis kredit.
"Mungkin kalau nanti keluar 100
commercial paper, kami mungkin hanya ikut 10 bisa, 20 bisa, bisa juga 100 kalau memang semuanya
good names," ujar Jahja secara terpisah.
Selanjutnya, Jahja juga mengapresiasi BI karena telah mengeluarkan aturan SBK agar penerbitan SBK tidak 'kebablasan'. Dalam artian, perusahaan jangan sampai terlalu mudah menerbitkan SBK sehingga meninggalkan kredit perbankan.
Sementara, Direktur PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko menyatakan belum akan menjadikan penempatan dana di SBK sebagai prioritas. Pasalnya, sebagai bank yang fokus untuk pembiayaan perumahan, perusahaan selalu berupaya tidak memiliki banyak kelebihan likuditas.
 Ilustrasi: Direktur PT Bank Tabungan Negara Tbk (BTN) Iman Nugroho Soeko menyatakan belum akan menjadikan penempatan dana di SBK sebagai prioritas. (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono) |
Sebagian besar dana BTN, lanjut Iman, banyak ditempatkan pada obligasi negara dan NCD bank dengan rating kredit AAA.
"Kelebihan likuiditas lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan
highly qualified liquid asset (HQLA) agar batasan
liquidity coverage ratio (LCR) terjaga sesuai aturan Otoritas Jasa Keuangan," tutur Iman.
Sebagai catatan, LCR merupakan perbandingan antara HQLA dengan total arus kas keluar bersih selama 30 hari ke depan dalam skenario krisis.
Sesuai Peraturan OJK Nomor 42/POJK.03/2015 tentang Kewajiban Pemenuhan Rasio Kecukupan Likuiditas Bagi Bank Umum, BTN sebagai Bank Umum Kelompok Usaha III memiliki kewajiban minimal LCR di level 80 persen sejak 30 Juni lalu. Per akhir Juni 2017, LCR perseroan ada di level 154,52 persen.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira mengungkapkan instrumen SBK bermanfaat, baik bagi penerbit maupun investor.
Bagi korporasi, SBK bisa menjadi alternatif perusahaan untuk mendapatkan kucuran likuiditas sehingga
cashflow perusahaan lebih terjaga dalam jangka pendek.
"Sementara, bagi bank dan asuransi, SBK bisa digunakan untuk mengatur kelebihan likuiditas," ujarnya.
Dengan terbitnya aturan SBK, BI memperkuat pelonggaran ketentuan Giro Wajib Minimum di mana bank semakin diberi ruang untuk mengelola likuditasnya.
Kendati demikian, SBK juga memiliki risiko yang akan menentukan besaran
yield yang diterima oleh investor. Karenanya, bank harus mempelajari profil perusahaan, prospek bisnis, kondisi likuiditas, kemampuan bayar utang dan rasio utang terhadap modal.
"Tambahan lainnya, bagi perusahaan penerbit SBK yang memiliki utang luar negeri sebaiknya yang sudah melakukan lindung nilai," terangnya.
Selain itu, Bhima juga mengingatkan dana SBK yang merupakan dana jangka pendek hanya digunakan untuk membiayai proyek jangka pendek.
"Jangan sampai
mismatch. [Dana SBK] jangan dibuat proyek infrastruktur," pungkasnya.