Jakarta, CNN Indonesia --
Siapa yang tak kenal produk asuransi berbalut investasi atau unitlink? Produk ini merupakan primadona bagi industri asuransi jiwa di Tanah Air. Bagi Anda yang menyukai hal-hal praktis, unitlink boleh menjadi pilihan. Karena selain berasuransi, Anda sekaligus diajarkan untuk merencanakan keuangan di masa depan.
Unitlink terbilang praktis karena produk yang dimiliki nasabah dikemas menggenggam dua manfaat sekaligus. Cara mendapatkannya pun tak sulit. Anda hanya perlu menghubungi salah satu perusahaan asuransi jiwa, menyesuaikan kebutuhan proteksinya dan mengukur profil risiko untuk berinvestasi.
Benar-benar semudah menjentikkan jemari, bukan?
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, Perencana Keuangan Tatadana Consulting Tejasari Assad mengingatkan, karena unitlink merupakan produk turunan asuransi jiwa, maka ada baiknya apabila kebutuhan asuransi nasabah yang diutamakan.
“Karena kan memang yang utamanya asuransinya,” ujarnya kepada CNNIndonesia.com Kamis (3/8).
Setelah itu, baru lah agen asuransi akan melihat profil risiko atau tujuan dari investasi nasabah. Sang agen akan memberikan saran sesuai dengan tujuan nasabah tersebut. Tetapi, keputusannya tetap berada di tangan nasabah.
Jika proses tersebut telah selesai dan permintaan nasabah sudah terverifikasi, polis asuransi dan program investasi akan berjalan. Adapun, terkait pembayarannya, bergantung pada produk dan perencanaan investasi nasabah.
Umumnya, unitlink dibanderol mulai dari Rp400 ribu per bulan untuk pembayaran premi secara regular (bulanan) selama 10 tahun - 15 tahun. Sementara, unitlink dengan pembayaran premi tunggal atau sekali bayar bisa dihargai puluhan juta hingga ratusan juta.
 Ilustrasi uang. (CNNIndonesia/Safir Makki). |
Tak Murni 100 Persen Asuransi
Karena unitlink merupakan produk perkawinan silang dari asuransi dan investasi, maka Anda perlu memahami bahwa seluruh dana yang disetor tak melulu lari ke keranjang investasi. Jangan buru-buru mimpi setoran Anda dalam lima tahun ke depan bisa balik modal. Begitu pula dengan proteksi yang diberikan.
Karena, dana Anda dibagi ke dalam keranjang asuransi dan investasi. Itu pun belum termasuk biaya-biaya, seperti biaya administrasi, biaya akuisisi nasabah, hingga biaya pengelolaan investasi. Makanya, dana investasi Anda bertumbuh lebih lambat dibandingkan dengan produk investasi murni.
“Misalnya, ambil produk dengan pembayaran Rp1 juta per bulan. Bisa saja seperti ini, Rp200 ribu untuk investasi dan Rp800 ribu untuk asuransinya," terang Tejasari.
Namun, komposisi ini tidak akan selalu sama tiap tahunnya. Seiring berjalannya waktu, jumlah komposisi dana yang ditempatkan ke keranjang investasi bisa saja bertambah dari tahun ke tahun. Tetapi, lagi-lagi, bergantung pada strategi penempatan dana dan biaya asuransi Anda.
Selanjutnya, dana yang sudah ada di keranjang investasi itu diparkir di sejumlah instrumen investasi, seperti saham, obligasi, serta deposito. Masing-masing instrumen ini memberikan imbal hasil (return) yang berbeda-beda.
Hitung-hitungan kasar saja, obligasi akan memberikan imbal hasil 6 persen dalam satu tahun. Kemudian, untuk deposito sendiri sekitar 5 persen per tahun, sedangkan saham relatif fluktuatif. Yang pasti, akan sangat bergantung pada kondisi pasar saat investor masuk dan keluar.
Sebetulnya, investasi di unitlink tidak berbeda jauh dengan reksa dana. Perusahaan asuransi jiwa akan menempatkan dana nasabah mereka di perusahaan manajer investasi. Biasanya, ada produk yang dibuat khusus ditujukan untuk investasi unitlink dari asuransi tersebut.
“Untuk mengelola dana harus ada izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Jadi, bisa dikelola sendiri dengan membentuk perusahaan manajer investasi atau dititipkan ke perusahaan manajer investasi," jelas Tejasari.
Menurut dia, selain praktis, ada manfaat lain yang bisa diraih nasabah yang membeli unitlink. Jika seseorang melakukan investasi di reksa dana, maka investasinya otomatis berhenti ketika orang tersebut meninggal dunia, meskipun tujuan investasinya belum tercapai.
Hal ini tidak akan terjadi pada unitlink. Jika nasabah meninggal saat tujuan investasinya belum terwujud atau belum sampai jangka waktu yang disepakati, maka pihak asuransi akan membayarkannya setiap bulan hingga jangka waktunya selesai.
“Jadi, misal sudah membuat rencana investasi selama 10 tahun, kalau terjadi apa-apa dengan nasabah, maka rencana program investasi tetap berjalan. Nah, kalau reksa dana kan tidak, jika meninggal, ya selesai," papar Tejasari.
Investasi Tak Optimal
Namun, karena unitlink bukan produk investasi murni, artinya produk ini juga memiliki kelemahan. Kelemahannya, yaitu investasinya yang tidak optimal. Maklumlah, nasabah membayar untuk dua manfaat.
"Misalnya saja, reksa dana, maka fee-nya hanya untuk beli reksa dana. Kemudian, saat pencairan. Kalau unitlink jadi banyak," kata Tejasari.
Selain itu, nasabah tidak bisa mengambil 100 persen dana kelolaan investasinya sebelum polis asuransi jatuh tempo. Hal ini karena dana investasi akan dipergunakan untuk membayar premi jika jangka waktu pembayaran premi sudah selesai.
Nasabah juga jangan dulu senang ketika jangka waktu pembayaran premi usai. Sebab, pembayaran premi akan diambil langsung dari keranjang investasi nasabah.
Bahkan, apabila dana kelolaan investasi nasabah itu tidak cukup untuk membayar premi, maka nasabah perlu menyetor kembali biaya premi setiap bulannya.
"Polis kan tetap harus jalan. Jadi, dana investasi diambil, tidak hanya imbal hasil-nya, tapi dana pokoknya juga bisa,” imbuh dia.
Perencana keuangan Aidil Akbar menambahkan, tenaga pemasar acap kali tidak mengerti betul dengan produk unitlink atau soal investasi. Hal ini yang mengakibatkan kesalahpahaman antara nasabah dan agen.
Terlebih lagi, laporan investasi produk unitlink yang tidak terbuka kepada nasabah juga menambah daftar kelemahan dari produk itu sendiri. "Unitlink banyak tidak transparannya, banyak keanehannya," tutur Aidil.
Ditambah, mayoritas dana yang dibayar tiap bulannya akan disalurkan ke kantong asuransi. Sementara, fee yang dipotong oleh pihak asuransi juga terbilang sangat tinggi sekitar 15 persen-40 persen, bergantung kebijakan perusahaan asuransi jiwa masing-masing.
"Itu semua diambil dari uang nasabah, nasabah tidak pernah diberi tahu," ucapnya.
Tak jarang, lanjut Aidil, sering terjadi salah penghitungan oleh nasabah itu sendiri. Misalnya saja, nasabah mengira telah membayar Rp500 ribu setiap bulan dengan harapan terkumpul dana minimal Rp6 juta dalam satu tahun.
Namun, nyatanya dana nasabah tersebut hanya sisa Rp1,8 juta-Rp2 juta. "Uang murni belum ada pengembangan. Nah, kalau minim malah tidak dapat apa-apa. Mayoritas penjual unitlink pasti salah jual karena tidak paham investasi. Jadi, banyak yang salah beli juga," papar Aidil.
Sehingga, imbal hasil yang diraih oleh nasabah dipastikan tidak melejit jika dibandingkan dengan investasi lainnya, seperti reksa dana. Lebih rinci, jika nasabah sama-sama melakukan investasi langsung di reksa dana dengan Rp500 ribu satu bulan dan unitlink Rp500 ribu per bulan, maka dalam hitungan 15 tahun-20 tahun nasabah berpotensi mengantongi keuntungan hingga hitungan miliar.
"Kalau unitlink mungkin hanya Rp30 juta," pungkas Aidil.
Jadi, sudah siap berasuransi sembari berinvestasi?
(bir)