Tolak Kerja Sama, Karyawan JICT Terancam Kehilangan Pekerjaan

CNN Indonesia
Senin, 07 Agu 2017 16:17 WIB
Pasalnya, pengelolaan terminal petikemas PT JICT akan kembali ke PT Pelindo II (Persero) pada 2019, jika SP JICT menolak perpanjangan kerja sama.
Pasalnya, pengelolaan terminal petikemas PT JICT akan kembali ke PT Pelindo II (Persero) pada 2019, jika SP JICT menolak perpanjangan kerja sama. (CNN Indonesia/Hesti Rika).
Jakarta, CNN Indonesia -- The National Maritime Institute (Namarin) menyebut pengelolaan terminal petikemas PT JICT akan kembali ke PT Pelindo II (Persero) pada 2019 mendatang, jika serikat pekerja JICT menolak perpanjangan kerja sama.

Direktur Namarin Siswanto Rusdi mengatakan, hal tersebut terkait mogok SP JICT mulai 3 Agustus dan rencananya dilanjutkan pada 10 Agustus lewat serangkaian tuntutan, antara lain penolakan perpanjangan kontrak pengelolaan terminal dengan investor asing, Hutchison.

Menurut dia, sangat terbuka kemungkinan Pelindo II mencari mitra lain untuk mengelola terminal bekas JICT, apabila perpanjangan kerja sama dibatalkan seperti keinginan sekelompok pekerja di SP JICT.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Jika perpanjangan kontrak kerja sama batal, para pekerja PT JICT itu tidak akan punya kerjaan lagi. Kan dermaganya di kembalikan ke Pelindo II saat kontrak berakhir di 2019. Lalu, akan bekerja dimana pekerja JICT yang berpenghasilan besar itu," ujarnya seperti dilansir ANTARA, Senin (7/8).

Ia menilai, bila perpanjangan kerja sama antara JICT- Pelindo II dibatalkan, pengelolaan terminal petikemas terbesar ini akan langsung secara otomatis menjadi milik operator pelabuhan pelat merah.

Nah, jika kontrak kerja sama JICT-Pelindo II berakhir pada 2019, secara hukum perseroan, JICT sebagai badan hukum masih akan tetap ada dan kecil kemungkinan bagi Pelindo II untuk membeli saham Hutchison Port Holding (HPH) di JICT.

Sebaliknya, HPH juga mustahil menghibahkan sahamnya ke Pelindo II atau Kopegmar. "Dengan tidak memiliki hak pengelolaan dermaga milik Pelindo II, JICT tak mempunyai bisnis lagi dan hanya berisi karyawan bergaji mahal dan tukang protes, mana ada investor yang mau membeli perusahaan seperti ini," tutur Siswanto.

Oleh karena itu, pengamat industri kemaritiman ini menilai, kondisi JICT yang tak bisa beroperasi itulah yang justru diharapkan segelintir pekerja di SP JICT dan karena situasi itu mengharuskan JICT melakukan rasionalisasi.

Kemudian, jika sesuai Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara manajemen dan pekerja JICT dan rasionalisasi dilakukan, maka perusahaan harus membayar sejumlah kompensasi yang nilainya fantastis.

"Sesuai PKB setiap pekerja yang terkena rasionalisasi rata-rata bisa mendapatkan Rp4 miliar-Rp6 miliar di 2019 saat kontrak berakhir. Artinya, untuk 700 pekerja JICT biaya rasionalisasinya mencapai lebih Rp3 triliun," ungkap Siswanto.

Sesuai skenario SP JICT, setelah mendapatkan pesangon dari program rasionalisasi PT JICT, bekas pekerja JICT ini berharap dapat dipekerjakan di perusahaan pengelola dermaga Pelindo II yang sudah dikembalikan JICT tadi.

"Tapi saya yakin tidak ada perusahaan yang mau menerima pekerja eks JICT yang sudah tidak produktif dan terlalu banyak menuntut. Pasti pilih cari pekerja baru yang gajinya lebih terjangkau dan tidak mempolitisasi perusahaan," katanya.

Rugikan Negara

Selain merugikan JICT, Siswanto menuturkan, skenario SP JICT membangkrutkan JICT dengan menolak perpanjangan kerja sama JICT-Pelindo II jelas merugikan negara. Makanya, perpanjangan kerja sama JICT-Pelindo II masih dianggap opsi terbaik.

Pelindo II menjadi pemilik mayoritas di JICT dan mendapatkan biaya sewa dermaganya sebesar US$85 juta atau hampir Rp1 triliun per tahun. Dana tersebut bisa digunakan untuk investasi di tempat lain oleh Pelindo II.

"Pemerintah, DPR dan masyarakat jangan terperdaya isu-isu sesat. Batalnya perpanjangan kerja sama JICT-Pelindo II justru akan merugikan negara dan menguntungkan segelintir pekerja di JICT yang sudah berpenghasilan ratusan juta rupiah," imbuhnya.
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER